Temuan ini jelas memiliki implikasi politik yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Karena temuan survei ini dapat menjadi positif, namun bisa saja juga berdampak sebaliknya. Positifnya, hasil survei ini mencambuk seluruh komponen bangsa ini baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan instrumen demokrasi yang diperjuangkan melalui gelombang reformasi Mei 1998.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menyebutkan temuan ini bukan berarti publik merindukan figur Pak Harto. Namun, Qodari menegaskan temuan ini bermakna publik belum puas dengan keadaan saat ini. "Sebetulnya pemerintah harus bisa berprestasi lebih baik lagi," ujarnya kepada INILAH.COM melalui saluran telepon, Senin (16/5/2011).
Namun, dampak negatif dari temuan survei ini, romantisme publik terhadap era otoritarianisme orde baru bisa-bisa mendapat legitimasi 'ilmiah' melalui hasil survei ini. Padahal melalui jalan reformasi 1998, upaya koreksi total atas sistem orde baru dilakukan.
Persoalan ekonomi yang mendasar seperti urusan sembilan bahan pokok (sembako) kerap menjadi 'alibi' bagi pihak-pihak yang mengidealkan era Pak Harto kembali hadir. Seperti yang diungkapkan Partai Nasional Republik (Nasrep) yang baru saja mendaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
Partai ini ditujukan untuk melanjutkan cita-cita Pak Harto. Salah satu penggagas Partai Nasrep Edy Waluyo menyebutkan, saat orde baru masyarakat mencari sandang, papan, dan pangan dengan mudah. Namun saat ini, sambung Edy, selain persoalan ekonomi, urusan kenegaraan seperti NII, sikap pemerintah tidak jelas. "NII sudah memproklamirkan secara terbuka, mengapa pemerintah tidak berani menindak?" katanya.
Situasi ini sebenarnya terbaca dengan survei Indo Barometer. Temuan Indo Barometer menyebutkan kepuasan publik terhadap kinerja Presiden SBY paling rendah di bidang ekonomi sebesar 41,2% dan penegakan hukum 46,7%. "Isu-isu besar yang memberatkan pemerintahan SBY-Boediono terutama pada masalah ekonomi dan hukum. Hal-hal inilah yang perlu dijadikan prioritas terobosan (bukan hanya perhatian) SBY-Boediono," tegas Qodari.
Temuan ini sejatinya menjadi pemandu bagi pemerintah dan segenap elemen bangsa ini untuk memiliki perhatian yang lebih dalam untuk menyelesaikan persoalan ekonomi dan hukum yang memang belakangan menjadi sorotan publik. Kesempatan ini seharusnya dimanfaatkan oleh semua pihak.
Karena jika dua persoalan krusial tersebut yakni hukum dan ekonomi tidak dapat ditangani dengan baik, bisa saja akan menjadi legitimasi bagi mereka yang mengidealkan pemerintahan Orde Baru yang telah dikoreksi bersama melalui reformasi.
Qodari menyebutkan terdapat peluang bagi pemerintah menjadikan era reformasi menjadi orde terbaik dalam sejarah. Dia menyebutkan, SBY yang paling tahu untuk merealisasikan itu. "Yang paling tahu SBY sendiri melakukan. Apa yang dilakukan supaya ada survei lagi, misalnya pada 2014-2015, ternyata temuannya orde reformasi menjadi orde terbaik dan SBY sebagai Presiden terbaik. Itu kembali ke SBY," sarannya. [mdr](inilah)