Sebagai satu-satunya dalang di Suriname, Sapto mengaku prihatin dengan keberadaan dalang yang tidak diminati. Padahal, tak sedikit masyarakat Suriname yang gemar melihat pertunjukan wayang.
Konon, kata Sapto, di negara yang penduduk keturunan Jawa sekitar 40.000 ribu, ada lima dalang. Namun, empat dari lima dalang tersebut sudah meninggal dunia dan meninggalkan Sapto sebagai dalang terakhir.
“Dulu ada lima, Dalang Mintokaryo, Dalang Sukiban, Dalang Suliyo, dan Dalang Giman,” kata Sapto menyebut satu persatu dalang di Suriname saat bertandang ke Yogyakarta. “Yang terakhir tinggal saya, satu-satunya dalang di Suriname,” lanjutnya.
Sejak kecil, Sapto memang sudah terbiasa dengan dunia perwayangan. Karena ayahnya, Ponco Sadeyo, juga sebagai seorang dalang. Sapto sering diajak ayahnya berkeliling ketika mendalang.
Ponco Sadeyo, cerita Sapto, adalah seorang dalang dari Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogykarta. Sementara ibunya, juga berasal dari Solo, Jawa Tengah. Mereka berdua dibawa Belanda ke Suriname pada 1930.
Sesampainya di Suriname, bersama ribuan orang lainnya mereka dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan, seperti buah-buahan, kopi, tebu, dan kakao. Dua tahun kemudian, 1932, Sapto menuturkan, Ponco Sadeyo menikah dengan seorang gadis asal Solo, Jawa Tengah, Jumiyem, dan kemudian melahirkan dirinya pada 1940. “Jadi saya generasi kedua keturunan Jawa di Suriname,” katanya.
Sebagai buruh perkebunan yang juga dalang, ayah Sapto, sering mendalang di Suriname. Dan Sapto mengaku sering ikut ayahnya ketika itu. Sampai-sampai Sapto menceritakan sering tertidur di kotak wayang karena mengantuk.
Meski sebagai keturunan dalang, Sapto mengaku tidak langsung menjadi dalang. Dia malah sempat bekerja sebagai mekanik di sebuah perusahaan perkapalan di Suriname. Setelah ia pensiun pada 2000, Sapto mulai menekuni dunia perwayangan dan perdalangan. “Setelah pensiun, saya baru mulai menekuninya lagi,” kata Sapto.
Agar benar-benar memahami dan menguasai betul tentang seni perwayangan dan perdalangan, pada 2000 dan 2005, Sapto menyempatkan diri untuk belajar langsung kepada seorang dalang dari Magelang, Jawa Tengah, yang singgah di Suriname selama beberapa bulan. “Namanya Parjoyo, waktu ia ke Suriname,” katanya.
Pada 2008, Sapto mengaku total terjun ke dunia perwayangan dan perdalangan. Karena ia tidak menjumpai dalang yang ada selain dirinya. Padahal, banyak sekali warga Suriname yang senang melihat pertunjukan wayang. “Masak di Suriname yang penduduk jawanya mencapai sekitar 40.000 orang harus harus kehilangan dalang?,” tanyanya.
Meskipun di Suriname banyak sekali penduduk asal Jawa, Sapto tak menjumpai generasi muda yang tertarik belajar perwayangan dan perdalangan secara serius. Dan hal itulah yang membaut dia gelisah kalau sampai wayang hilang dari Suriname dan tinggal cerita saja.
Kegelisan itu juga yang coba ia utarakan saat bertandang ke Yogyakarta. Di berbagai kesempatan, Sapto mencari tahu bagaimana cara memotivasi warga Suriname agar mau belajar perwayangan. Karena ia kagum dengan keberadaan banyak dalang cilik di Yogyakarta.
“Kalau di Suriname, mereka cepat bosan. Baru beberapa kali belajar, mereka sudah bosan. Dan saya mencari obat bosan, tapi tidak ada yang jual,” keluhnya.
Dalang terakhir di Suriname yang memiliki tiga anak itu mengaku, kalau ada pertunjukan wayang kulit di Suriname, ada sekitar 400-500 ratusan warga yang menyaksikan. Mereka tak hanya dari warga keturunan Jawa, namun warga yang bukan keturunan Jawa juga semangat untuk menonton pertunjukan wayang kulit. Seperti dari keturunan Inggris, Belanda, India, Afrika, dan keturunan lainnya yang tinggal di Suriname.
Banyaknya warga Suriname yang antusias menonton pertunjukan wayang kulit, diakui Sapto, menjadi motivasi sendiri untuk terus melakukan inovasi agar dunia perwayangan semakin digemari.
Ia mencoba memadukan lagu-lagu berbahasa asing dengan kisah perwayangan. Lagu-lagu itu diselipkan di sela-sela lakon wayang di mainkan, seperti lagu berjudul Please Release Me yang dipopulerkan penyanyi asal Inggris, Engelbert Humperdinck. Selain menyelipkan lagu-lagu berbahasa asing, Sapto juga memakai sejumlah bahasa untuk memainkan perwayangan.
“Agar penonton paham lakon wayang yang dimainkan, karena mereka dari berbagai keturunan, tidak hanya Jawa,” katanya. (metrotvnews)