Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding saat mengisi Talkshow Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) di Gedung Prof. Soedarto, Kota Semarang, Kamis, (26/6/2025). (KOMPAS.COM/Titis Anis Fauziyah)

Solo – Pernyataan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, yang mendorong warga untuk bekerja ke luar negeri menuai kritik dari sejumlah warga.

Karding meminta warga untuk mencari kerja di luar negeri, sambil menyinggung angka pengangguran di Jawa Tengah yang mencapai hampir 1 juta orang.

Namun sejumlah warga di Jawa Tengah menilai, merantau ke luar negeri bukan lah solusi untuk mendapat pekerjaan serta mengatasi tingginya angka pengangguran.

Ika Afriyani (19), warga Solo yang kini tengah berjuang mencari pekerjaan, mengaku tidak tertarik dengan dorongan pemerintah untuk bekerja di luar negeri.

Ia mempertimbangkan risiko keselamatan, jarak dengan keluarga, hingga biaya hidup tinggi di luar negeri.

“Takutnya kenapa-kenapa kan. Jadi entar malah merepotkan keluarga yang di Indonesia,” kata Ika, Senin (30/6/2025).

“Soalnya kalau di luar negeri itu kan hidup sendiri. Apalagi kan itu di negara orang, takutnya malah berurusannya itu yang lebih besar,” lanjutnya.

Ika juga menilai persepsi gaji besar di luar negeri perlu dikaji kembali karena tidak semua orang memahami besarnya biaya hidup di negara tujuan.

“Gaji di sana besar tapi biaya hidupnya juga besar. Jadi harus pintar-pintar memanajemen keuangan,” katanya.

Selain itu, biaya awal bekerja ke luar negeri juga menjadi pertimbangan berat bagi pencari kerja seperti dirinya.

“Modalnya besar. Jadi enggak semua orang sanggup buat bayar tanggungannya itu,” imbuhnya.

Pemerintah Jangan Lepas Tangan

Olivia Marcha (20), pencari kerja lainnya, menilai pernyataan Karding itu kurang bijak karena justru terkesan melempar tanggung jawab ke negara lain.

“Mending dimaksimalkan dulu buat kerjaan di Indonesia. Kalau memang tidak bisa, baru individu yang memilih keluar negeri atau tidak,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menyiapkan SDM yang siap kerja, terutama melalui pelatihan dan pendidikan yang tepat sasaran.

“Banyak pengangguran karena skill belum diasah, sedangkan lowongan kerja juga menuntut pengalaman,” jelasnya.

Olivia juga menolak opsi kerja di luar negeri karena perbedaan regulasi dan risiko yang harus ditanggung secara pribadi.

“Meskipun pemerintah menjamin, tetap saja risikonya besar. Jadi aku enggak mau,” tegasnya.

Kritik Banyaknya WNA Kerja di RI

Rika Wulansari (40), pedagang di Solo, juga menilai pernyataan Karding tidak menyelesaikan masalah pengangguran di dalam negeri.

“Seharusnya pengangguran itu dipikirkan pemerintah sendiri dong. Masa malah disuruh ke luar negeri?” ujarnya.

Meski mengakui bahwa pendapatan di luar negeri lebih tinggi, ia menilai hal tersebut serupa dengan menjual tenaga kerja ke luar negeri.

“Harusnya pemerintah Indonesia menyiapkan lapangan kerja yang lebih banyak,” katanya.

Rika juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang justru mendatangkan tenaga kerja asing ke Indonesia.

“Rakyat sendiri disuruh keluar, tapi (warga) negara lain disuruh masuk kerja ke sini. Kan lucu,” tambahnya.

Perlu Jaminan Bagi Pekerja Migran

Sementara itu, Fernanda Yoga (27), memiliki pendapat berbeda. Ia menilai kerja ke luar negeri sah-sah saja dilakukan mengingat sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia.

“Sekarang mau ngelamar kerja aja susahnya minta ampun,” ujar Fernanda.

Menurutnya, banyak lulusan perguruan tinggi yang belum terserap di pasar kerja, sehingga kerja ke luar negeri menjadi solusi realistis.

“Kalau ada kemauan dan dukungan, kerja di luar negeri sah-sah saja. Mungkin peluangnya juga lebih bagus,” tambahnya.

Meski begitu, ia menekankan pentingnya peran negara dalam memastikan keamanan dan fasilitas bagi pekerja migran.

“Tergantung fasilitas dari negara dan kemauan kita sendiri, mau berangkat ke luar negeri atau tidaknya,” tutupnya. (kompas).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer