Jakarta – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel mengatakan pihaknya memonitor ada 300 WNI terpapar terorisme di Suriah. Sementara itu ada 9 WNI teroris di Afghanistan dan 8 WNI teroris di Filipina.
“Jumlahnya bervariasi, kurang lebih 300an di Suriah, itu yang terdata lho, yang termonitor sama kita. 9 Orang di Afghanistan dan 8 orang di Filipina,” kata Rycko kepada wartawan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/9/2023).
Dia mengatakan pemerintah berupaya merepatriasi WNI yang berstatus teroris asing atau foreign terrorist fighters (FTF) di ketiga negara.
“Nah kita mulai akan melakukan pendataan karena ini juga mandat dari PBB ya, dari UNOCT (United Nations Office of Counter-Terrorism), supaya semua negara-negara dalam rangka menghilangkan kelompok-kelompok teroris. Bahasa mereka (PBB-red) bukan kelompok terroris, tapi warga negara yang berada di wilayah konflik, conflict zone ya. Mereka akan melakukan pendataan dari UNICEF melakukan pendataan dengan UNCRC (UN Convention on the Rights of the Child),” jelas Rycko.
Rycko menuturkan pemerintah sudah mempertimbangkan kemungkinan repatriasi anak-anak usia 10 tahun ke bawah, yang akan terpisah dengan ibunya. WNI yang direpatriasi akan ditempatkan di kedutaan besar RI masing-masing negara konflik.
“Warga negara ini akan ditempatkan di masing-masing kedutaan untuk dilakukan pemulangan. Warga negara itu setelah kembali ke negaranya, dilakukan proses treatment deradikalisasi. Kita sudah sampai situ, tapi sampai sejauh ini pemerintah saat ini, kebijakan pemerintah sampai saat ini kita hanya melakukan repatriasi terhadap anak-anak yang berumur 10 tahun ke bawah,” jelas Rycko.
Dia mengatakan program deradikalisasi harus dipersiapkan dengan matang untuk para WNI teroris kombatan. Dia mengatakan pelaksanaan deradikalisasi bukan hanya terkait kesehatan fisik, melainkan wawasan kebangsaan hingga keagamaan.
“Kita perlu mempersiapkan program yang matang untuk melakukan deradikalisasi, yang disebut treatment program itu mulai tempatnya di mana, siapa yang melakukan treatment itu, kemudian apa programnya, program wawasan kebangsaannya, program keagamaannya, masalah kesehatannya. Ini kesehatan bukan hanya masalah fisik lho,” terang Rycko.
“Bagaimana merubah cara berfikirnya, karena mereka datang ke sana (untuk jadi teroris kombatan-red) atas keinginan sendiri ya, kemudian bergabung dengan suatu kelompok terorisme dan kehidupan budaya hari-hari di sana dengan seperti itu. Kemudian tidak mudah untuk merubah mindset, merubah perilaku mereka dalam sekejap. Makanya program itu harus matang betul,” pungkas Rycko. (aud/aud/detik)