Foto: Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, (16/12/2024).

Jakarta – Pemerintah akan bergerak cepat untuk membahas aturan terkait pemilihan presiden (Pilpres) pasca adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi yang menghapus Presidential Threshold 20 persen.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Prof. Yusril Ihza Mahendra bilang, pemerintah akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres tahun 2029.

“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan Presidential Threshold, maka Pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/1/2025).

Dalam pembahasan norma dalam UU Pemilu pasca adanya tiga Putusan MK Nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 itu, Yusril memastikan akan turut melibatkan seluruh stakeholder.

Termasuk kata dia, peran serta dari akademisi, masyarakat hingga pegiat Pemilu.

“Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu dan masyarakat tentu akan dilbatkan dalam pembahasan itu nantinya,” pungkas Menko Yusril.

Dia belum dapat memastikan kapan waktu pembahasan terhadap aturan itu dengan DPR RI.

Pasalnya, saat ini DPR RI sedang memasuki masa reses yang baru akan berakhir pada 20 Januari mendatang.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Prof. Yusril Ihza Mahendra merespons soal keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus aturan ambang batas presiden atau Presidential Threshold 20 persen.

Kata Yusril, pemerintah ada dalam posisi menghormati putusan  yang membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 yang dipandang oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 tersebut.

“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (3/1/2025).

Sebelum dibatalkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 persen kursi parpol atau gabungan parpol di DPR RI, atau minimal 25 perden suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.

Dengan adanya keputusan ini, maka setiap parpol peserta Pemilu mendatang, berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa ambang batas lagi.

Yusril menegaskan, semua pihak, termasuk pemerintah terikat dengan Putusan MK tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apapun.

“Pemerintah menyadari bahwa permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan,” kata dia.

Yusril bilang, pemerintah melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu itu dibanding putusan-putusan sebelumnya.

Bagaimanapun keputusan dari MK sebagai salah satu lembaga peradilan tinggi harus dihormati.

Terlebih, pemerintah tidak dalam posisi untuk mengomentari setiap putusan yang dijatuhkan MK.

“Namun apapun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis,” kata dia.

“MK berwenang menguji norma undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tandas Yusril.

DPR dan pemerintah didorong oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan rekayasa konstitusional dalam melakukan revisi UU Pemilu pasca-penghapusan presidential threshold.

Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan ada beberapa hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang dalam hal melakukan rekayasa konstitusional.

Hal itu dia sampaikan dalam pertimbangan saat sidang putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (2/1/2024).

Dalam pertimbangannya, Saldi Isra menekankan semua partai politik peserta pemilu harus memiliki hak yang sama untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi.

Ia juga menegaskan ihwal mekanisme pengusulan tidak boleh lagi bergantung pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional. Sistem ini, menurutnya, perlu dirancang ulang agar lebih demokratis.

Saldi juga menyoroti pentingnya pembatasan koalisi partai politik agar tidak menciptakan dominasi yang justru mempersempit jumlah pasangan calon. Koalisi, katanya, harus tetap memberikan ruang bagi keberagaman pilihan politik demi menjaga demokrasi yang sehat.

”Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik,” tuturnya.

Terkait partai politik yang tidak berpartisipasi dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden perlu diberi sanksi tegas berupa larangan mengikuti pemilu di periode berikutnya. Langkah ini dinilai penting untuk memastikan setiap partai politik aktif berkontribusi dalam proses demokrasi.

Saldi menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam proses perumusan revisi UU Pemilu.

Ia menegaskan perubahan undang-undang ini harus melibatkan partai politik, termasuk yang tidak memperoleh kursi di DPR, serta elemen masyarakat lainnya.

Prinsip partisipasi publik yang bermakna, katanya, harus menjadi landasan utama agar revisi ini mencerminkan aspirasi rakyat secara luas. (tribunnews)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer