Jakarta – Belakangan Permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terus mengalami peningkatan. Tak terkecuali emiten-emiten yang tercatat di bursa.
Berdasarkan penelusuran dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dari lima pengadilan niaga yang ada di Indonesia, pada 2019, jumlah permohonan kepailitan dan PKPU tercatat hanya 435 pengajuan.
Namun, jumlah permohonan meningkat drastis menjadi 635 permohonan pada 2020 dan mencapai puncaknya pada 2021 dengan 726 permohonan. Adapun, pada 2022, pengajuan permohonan mulai turun menjadi 625 dan pada 2023, hingga 14 Oktober 2023 menjadi 563 permohonan.
Pendiri Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), yang juga Pengajar di Fakultas Hukum UI dan Anggota Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung, Aria Suyudi mengungkapkan, sejak berlakunya UU No. 37/2004, PKPU seringkali dijadikan sarana yang paling mudah untuk menagih utang, alih-alih melakukan perdamaian atau restrukturisasi.
Aria mengungkapkan ada kecederungan prosedur kepailitan dan PKPU dieksploitasi sebagai strategi dispute, padahal tidak memenuhi kategori syarat pernyataan kepailitan.
“Itu menjadikan kepailitan dan PKPU tidak berjalan sesuai dengan fungsi seharusnya,” ungkap Aria dalam keterangan resmi dikutip pada Rabu, (18/10/2023).
Sejalan, Senior Partner dan Head of the Dispute Resolution and Restructuring & Insolvency Practice Groups Hadiputranto, Hadinoto & Partners Andi Y. Kadir menganggap, restrukturisasi seringkali dijadikan sebagai alat untuk menagih utang atau bertolak belakang dengan restrukturisasi. Hal yang seringkali menimpa swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN).
Andi menambahan, proses kepailitan dan PKPU tidak hanya sekedar persoalan aspek legal tetapi juga menyangkut aspek ekonomi.
“Dalam proses restrukturisasi utang, kita tak hanya membicarakan soal infrastrukturnya [UU No. 37/2004] sudah memadai atau belum, tetapi juga soal recovery rate bagi kreditur serta perusahaan [debitur] yang melalui proses PKPU sudah menjadi perusahan yang sehat atau justru malah jadi zombie company,” jelasnya.
Andi menyebutkan, kurangnya konsistensi dalam penerapan UU No. 37/2004 mengakibatkan proses restrukturisasi utang berlarut-larut. Adapun tingkat recovery rate yang rendah hingga ketidakseimbangan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadikan cost of financing di Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
Padahal semangat dan cita-cita mulia UU Kepailitan dan PKPU, yaitu restrukturisasi dan perdamaian melalui sebuah peradilan khusus yang memastikan penyelesaian sengketa berlaku secara adil, cepat, terbuka, dan efektif agar tercipta kepastian bagi dunia usaha.
“Cost financing yang lebih tinggi ini pada akhirnya justru malah menganggu pemulihan ekonomi,” tegasnya.
Dia mencontohkan adanya perdebatan mengenai apakah suatu utang dapat dibuktikan secara sederhana, di mana persoalan ini menjadi salah satu poin yang banyak diperdebatkan dalam pengajuan permohonan pailit maupun PKPU.
Selanjutnya, kata Andi, UU No. 37/2004 sejatinya sudah mengatur bahwa klausul arbitrase yang disebut dalam perjanjian tidak menghilangkan kewenangan pengadilan niaga untuk memeriksanya, Namun, yang terjadi, katanya, justru klausul arbitrase dipakai untuk menyatakan bahwa pengadilan niaga tidak berwenang.
Berikutnya menyangkut soal perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing apakah masih bisa atau tidak mengajukan permohonan pailit atau PKPU di Indonesia.
“Ini seringkali tidak konsisten. Padahal justru pengadilan niaga seharusnya menerima karena pengadilan niaga tidak bisa memeriksa itu akan menjadikan semua perkara perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing itu penyelesaiannya dibawa ke luar. Itu kan sebenarnya tidak bagus juga buat perkembangan hukum Indonesia,” jelasnya.
Untuk diingat, pemerintah telah mengajukan RUU tentang Perubahan atas UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2020-2024. Sayangnya, hingga kini RUU perubahan tersebut belum juga dibahas.
Untuk itu, para pengamat menilai, UU No. 37/2004 butuh disesuaikan berdasarkan kondisi dan situasi terkininya sejalan dengan perekonomian yang bergerak dinamis. Mengingat UU tersebut telah berumur 19 tahun hingga saat ini.
Sepanjang tahun 2023, sejumlah emiten diketahui terjerat dalam gugatan PKPU. Sebut saja, emiten BUMN Karya PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang digugat PKPU oleh PT Megah Bangun Baja Semesta atas pelunasan utang Rp 29,3 miliar, pada Februari lalu.
Selain itu, ada juga Emiten perhotelan, apartemen, dan pusat perbelanjaan PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI) menerima gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebesar Rp162,35 juta pada Februari.
Dari sektor perusahaan swasta, Juli lalu, PT. Tatamulia Nusantara Indah selaku Kontraktor pembangunan Struktur maupun Arsitektur/Finishing Hotel Shangri-La Resort & Spa, The Maj Nusa Dua, Bali melakukan gugatan secara PKPU terhadap PT. Narendra Interpacific Indonesia selaku pengembang hotel, atas honor kontraktor senilai Rp 76,664 miliar yang belum dibayarkan. (fsd/fsd/CNBC Indonesia).