Blitar – Di tengah perburuan perampok rumah dinas (rumdin) wali Kota Blitar, beragam komentar miring bermunculan. Warganet banyak yang menilai peristiwa itu cuma drama. Di mata sosiolog, komentar warganet itu adalah bukti adanya krisis kepercayaan publik.
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengatakan, citra pimpinan itu tergantung bagaimana publik mengkonstruksi. Dari apa yang didengar, apa yang dilihat, dan apa yang dirasakan. Artinya, persepsi publik itu juga tak lepas dari kepemimpinan Wali Kota Blitar Santoso.
“Ini lepas soal benar atau tidak ya perampokan itu. Menyangkut citra persepsi itu sesuatu yang relatif. Memang menjadi masalah, kalau yang tidak percaya itu banyak. Nah itu berkaitan dengan memudarnya citra pemimpin. Citra di luar konteks kasus ini benar atau salah lho ya,” ulas Bagong, Sabtu (17/12/2022).
Kasus ini, lanjutnya, menjadi tantangan bagi Wali Kota Blitar untuk bisa merebut kembali kepercayaan publik. Bagong menilai, kondisi masyarakat saat ini mengalami krisis kepercayaan kepada pejabat publik dan lembaga kepolisian.
Menjadi tugas berat bagi kedua pihak saat krisis kepercayaan publik makin naik drastis. Apalagi banyak kasus korupsi dan tindak pidana yang melibatkan pejabat tidak ditangangani dengan adil.
“Publik saat ini membutuhkan konsistensi, komitmen, keteladanan, dan pembuktian kalau mereka memang benar (bekerja untuk rakyat). Tantangan ini harus dijawab dengan bukti nyata agar bisa kembali meraih kepercayaan masyarakat,” tandasnya.
Sementara Sosiolog Universitas Brawijaya (UB) Malang Imron Rozuli menyoroti pola komunikasi publik wali kota Blitar yang terlalu blak-blakan. Imron sendiri yang merupakan warga asli Blitar juga mengaku curiga dengan kasus ini. Kecurigaan itu muncul ketika Wali Kota Santoso mengaku uangnya Rp 400 juta akan dipakai membayar utang kampanye.
“Ya saya sendiri juga curiga. Saya munculnya (kecurigaan) juga alokasi duit untuk bayar utang kampanye itu. Pernyataan wali kota itu justru menstimuli kecurigaan banyak orang dan menganggap ini drama. Ini seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan Pak Santoso,” ulasnya.
Apakah Santoso sengaja menyampaikan itu sebagai bagian dari skenario drama? Imron menilai ada banyak tekanan kepada wali kota Blitar tersebut. Soal dana kampanye yang dirampok, kata Imron, adalah sesuatu yang sangat sensitif. Apalagi jumlahnya banyak dan dalam bentuk kes tersimpan di rumah pejabat. Wajar jika ada anggapan uang tunai itu dipersiapkan secara politis untuk sesuatu.
“Dari pernyataan itu justru ada hal ganjil yang tersirat. Padahal proses itu sudah terjadi dua tahun lalu. Ada beban yang ingin disampaikan Pak Santoso ke publik untuk melegitimasi kondisinya, ‘saya ini masih sulit lho, sik akeh utange’ . Mestinya itu tidak usah disampaikan,” ungkap Imron.
Ketika motif pengakuan itu tidak disampaikan, Imron punya keyakinan masyarakat akan berempati dan bersimpati. Asumsi masyarakat akan makin soft karena tipikal grass root Mataraman seperti Kota Blitar itu gampang adem atau sirep.
Menurut Imron, ada aspek-aspek komunikasi publik yang harus dijaga. Supaya asumsi warga tidak melebar liar. Persepsi masyarakat gampang terbelah atau sebaliknya terbentuk, itu semua berawal dari statement pejabatnya.
“Pada kelompok tertentu yang punya kepentingan, kasus ini akan terus bergulir untuk opini yang dikembangkan. Ya kalau terungkapnya sesuai fakta, tidak ada yang ganjil. Kalau tidak, ini justru menjadi bumerang bagi wali kota Blitar sendiri,” tukasnya. (abq/dte/detik)