Ilustrasi: hewan Karmin untuk pewarna

Surabaya – PW Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur mengharamkan penggunaan karmin sebagai bahan makanan atau minuman. Berikut penjelasannya.

Ketua LBM NU Jatim, KH Asyhar Shofwan mengatakan karmin merupakan bahan pewarna merah dari bangkai serangga.

“Bangkai serangga (karmin) atau hasyarat tidak boleh konsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam Madzhab Maliki,” kata Asyhar dalam keterangannya, Rabu (27/9/2023) dilansir detikJatim.

“Kami merekomendasikan penggunaan karmin dilarang dan haram,” jelasnya.

Keputusan ini dikeluarkan sejak 29 Agustus 2023. Asyhar menyatakan referensi LBM NU Jatim yakni dari kitab Al -Bayan Wattahsil, Al -Taj Wa al-Iklil Juz 3 halaman 228. Kemudian Al-Muntaqo Syarh Muwatto’ Juz 3 halaman 110, Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 1 halaman 1116, Al-Muntaqo Syarh Muwatto’ Juz 3 halaman 129, Al-dakhiroh Juz 4 halaman 125, Fathul mu’in Juz 1 halaman 98, dan ‘Ianah al-Tholibin Juz 1 halaman 108.

Karmin ini biasanya banyak ditemukan di yoghurt yang umumnya berwarna merah.

“Adapun penggunaan karmin untuk keperluan selain konsumsi semisal untuk lipstik menurut Jumhur Syafi’iyyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis. Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abi hanifah dihukumi suci sehingga diperbolehkan karena serangga tidak mempunyai darah, itu yang membuat bangkainya tidak bisa membusuk,” paparnya.

Asyhar menyatakan, penggunaan karmin selama ini untuk mempercantik penampilan produk makanan atau minuman untuk menarik perhatian calon konsumen.

“Salah satu caranya adalah dengan menggunakan pewarna makanan untuk menampilkan warna yang cerah. Selain pewarna sintetis dan alami, ada juga makanan dan minuman yang menggunakan pewarna dari serangga bernama karmin itu,” jelasnya.

Untuk mengolah menjadi pewarna, Asyhar menyebut serangga jenis cochineal dijemur hingga kering. Lalu dihancurkan dengan mesin hingga menjadi serbuk berwarna merah tua.

“Untuk menonjolkan aspek warna yang dinginkan, biasanya ekstrak cochineal ini dicampur dengan larutan alkohol asam untuk lebih memunculkan warna,” jelasnya.

Tak hanya itu, Asyhar menyebut penggunaan karmin memang sudah lama dimanfaatkan masyarakat.

“Karmin adalah pewarna merah yang usianya sudah sangat tua, berasal dari suku Aztec di tahun 1500-an. Ketika orang Eropa menemukan budaya mereka selama eksplorasi, mereka menggunakan ekstrak serangga berjenis cochineal atau kutu daun sebagai pewarna untuk kain dengan warna merah cerah,” imbuhnya.

Kiai Marzuki Imbau Tidak Pakai Lipstik atau Makanan yang Mengandung Karmin

Sebelumnya, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, KH Marzuki Mustamar menjelaskan status hukum makanan atau lipstik dan semacamnya yang dicampur dengan karmin. Karmin adalah zat pewarna olahan yang biasanya dicampur pada ice cream atau lipstik menjadi berwarna merah.

Penjelasan ini disampaikan Kiai Marzuki saat mengisi pengajian umum di Masjid Al-Hikmah Pondok Jati Blok DF 05 A Sidoarjo, Senin (11/09/2023).

Kiai Marzuki menjelaskan, setelah melalui kajian yang mendalam dalam Bahstul Masa’il dengan mendatangkan ahli dari Universitas Airlanggga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Di Karmin itu ternyata ada kutu kecil yang biasanya menempel di daun kaktus.

“Di negara penghasil, karmin ini dibudidayakan dengan jumlah besar hingga berton-ton. Lalu diambil dan dijemur sampai kering, kemudian digiling dan dijadikan serbuk. Setelah itu dicampurkan ice cream untuk menjadikannya warna merah,” katanya.

Menurutnya, di Al-Qur’an telah dijelaskan diharamkannya segala jenis bangkai atau hewan yang mati tanpa disembelih termasuk karmin yang pengolahannya dihancurkan atau digiling, kemudian dicampurkan pada minuman, maka status minumannya tercampur bangkai. Lipstik pun yang ada karminnya juga tercampur bangkai.

“Kita ikut Al Qur’an jangan membantah. Al Qur’an menjelaskan segela jenis bangkai haram kecuali dua. Pertama belalang dan ikan, mengonsumsi belalang langsung dibakar sah, ikan tanpa disembelih sudah sah,” terangnya. 

Menurut Madzhab Syafi’i, bangkai dihukumi haram dan najis. Nabi menjelaskan kulit hewan seperti ular, buaya jika sudah disamak statusnya suci, jika belum disamak statusnya masih najis.

Maka, lanjut Kiai Marzuki, jika membeli lipstik hindari yang berwarna merah. Andai membeli warna merah terlebih dahulu bertanya kepada yang ahli lipstiknya ada unsur karminnya atau tidak.

Kita mengimbau kepada perusahaan untuk pewarna memakai dari nabati saja supaya halal, tidak memakai pewarna hewani. Jangan sampai memakai atau menjual barang yang haram,” tandasnya. (detik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer