
FENOMENA bendera bajak laut “Jolly Roger” dari serial One Piece yang dikibarkan oleh sejumlah remaja dan mahasiswa di berbagai kampus dan ruang publik di Indonesia telah memantik perhatian publik.
Fenomena pop yang muncul menyusul redupnya tagar “Indonesia gelap” dan “Kabur aja dulu”.
Tak sedikit yang menyambutnya sebagai ekspresi budaya pop. Namun, ada yang mengaitkannya dengan radikalisme, pemberontakan simbolik terhadap negara, hingga indikasi pelecehan terhadap simbol-simbol kebangsaan. Tentu saja klaim yang terlalu berlebihan dan emosional.
Namun, apakah bendera One Piece harus ditafsirkan secara politis dan ideologis seiring dengan momentum perayaan HUT Kemerdekaan NKRI ke 80 tahun?
Budaya pop dan identitas generasi muda
Secara sosiologis, fenomena ini dapat dipahami melalui pendekatan budaya populer (popular culture).
John Storey dalam bukunya Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction (Routledge, London, 2009) menjelaskan bahwa budaya pop merupakan bentuk ekspresi sosial dari masyarakat yang mengalami transformasi nilai dan identitas dalam konteks global.
Bendera One Piece bukan sekadar simbol bajak laut, tetapi telah menjadi ikon perlawanan simbolik terhadap sistem yang dianggap represif, ketidakadilan sosial, dan impian akan dunia yang bebas dan adil.
Pemerintah seharusnya melihat dan memahami dari perspektif ini untuk kemudian ditanggapi secara positif.
Dalam narasi One Piece, bendera tengkorak tersebut bukan simbol kekerasan atau kejahatan semata, tetapi menjadi representasi dari impian, kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap tirani.
Karakter utama, Monkey D. Luffy, memperjuangkan keadilan dan pembebasan dari penindasan melalui jalur “bajak laut”, yang dalam konteks fiksi justru dimaknai sebagai pahlawan anti-mainstream.
Hal ini mencerminkan bagaimana generasi muda mengekspresikan diri melalui identifikasi simbolik terhadap narasi-narasi perlawanan alternatif yang ditawarkan budaya pop.
Paradigma kulturalisme dan tafsir simbolik
Paradigma yang tepat untuk memahami fenomena ini adalah paradigma kulturalisme dan hermeneutika simbolik.
Dalam paradigma kulturalisme, budaya tidak hanya dipahami sebagai produk seni dan estetika, melainkan sebagai medan pertarungan makna antara dominasi dan resistensi (Raymond Williams, Culture and Society 1780–1950, Columbia University Press, New York, 1958).
Sedangkan dalam pendekatan hermeneutika simbolik, seperti dikembangkan oleh Clifford Geertz (The Interpretation of Cultures, Basic Books, New York, 1973), simbol-simbol budaya ditafsirkan dalam konteks makna yang hidup di benak masyarakat, bukan secara literal atau legalistik.
Mengibarkan bendera One Piece di kampus dan di mobil-mobil angkutan, jika tidak disertai dengan niat subversif, bukan berarti menghina negara, melainkan bagian dari ekspresi budaya identitas dan perasaan keterasingan masyarakat (generasi muda) terhadap realitas sosial-politik yang sedang berlangsung.
Data dari Google Trends menunjukkan bahwa pencarian terkait One Piece di Indonesia mengalami lonjakan signifikan pada Juli hingga Agustus 2025, bertepatan dengan rilis film terbaru One Piece: Red dan viralnya aksi pengibaran bendera bajak laut di berbagai tempat.
Media sosial seperti TikTok dan X (Twitter) juga memperlihatkan ribuan unggahan dengan tagar #BenderaOnePiece dan #FreedomLikeLuffy. Ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh budaya Jepang terhadap generasi muda Indonesia hari ini.
Beberapa puluh tahun lalu, sebelum maraknya media sosial, serial TV yang sangat populer dan digandrungi masyarakat adalah “Oshin”.
Studi dari Japan Foundation tahun 2022 mencatat bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan penggemar budaya Jepang terbanyak di dunia, dengan One Piece sebagai salah satu ikon utama.
Pengaruh ini sangat besar dalam membentuk cara pandang, bahasa simbolik, dan identitas sosial generasi muda.
Sejatinya negara dan institusi hukum tidak boleh serta-merta menarik batas antara simbol budaya pop dan simbol subversif.
Teori Michel Foucault tentang kekuasaan dan resistensi (Discipline and Punish, Pantheon Books, New York, 1977) mengingatkan kita bahwa kekuasaan selalu diimbangi dengan resistensi dalam bentuk simbolik maupun nyata.
Ketika negara terlalu cepat menilai tindakan simbolik sebagai bentuk pelanggaran, maka yang terjadi bukan pendidikan, melainkan represi.
Di sinilah negara dan aparat keamanan perlu bijak dalam memahami bahwa tidak semua simbol adalah ancaman. Dalam ruang publik demokratis, simbol-simbol budaya populer seringkali menjadi kanal katarsis sosial, bukan deklarasi ideologi.
One Piece mengajarkan bahwa keadilan tidak selalu lahir dari sistem formal, tapi juga dari perjuangan tanpa pamrih demi sesama.
Fenomena bendera bajak laut bukan soal makar, tetapi tentang pencarian makna hidup, solidaritas, dan harapan akan dunia yang lebih baik, meski dalam bentuk simbol animasi.
Ketimbang mencurigai, lebih baik kita mengajak generasi muda berdialog, membahas makna kebebasan, keadilan, dan nasionalisme dengan bahasa yang mereka pahami: bahasa simbol dan budaya pop. (kompas)
Penulis: Ahkam Jayadi Dosen Pemerhati masalah hukum dan kemasyarakatan.