Jakarta – Komnas HAM mengatakan lesbian, gay, transgender, biseksual, queer (LGBTQ) hingga narapidana (napi) masuk dalam 17 kelompok rentan, yang hak pilihnya harus diakomodir dalam Pemilu 2024. Kelompok rentan lainnya, dipaparkan Komnas HAM, yakni kelompok disabilitas, pekerja perkebunan, pertambangan, pekerja migran, pekerja rumah tangga, masyarakat adat, masyarakat perbatasan, minoritas agama, lansia, ODHA, pengungsi, pasien rumah sakit dan tenaga medis, pemilih pemula, tunawisma.
“17 kelompok rentan yang menjadi fokus pemantauan, yakni kelompok disabilitas, tahanan, narapidana, pekerja perkebunan, pertambangan, pekerja migran, pekerja rumah tangga, masyarakat adat, masyarakat perbatasan, minoritas agama, lansia, LGBTQ, ODHA, pengungsi, pasien rumah sakit dan tenaga medis, pemilih pemula, tunawisma,” kata Wakil Ketua bidang Internal, Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, dalam konferensi pers, Jumat (12/5/2023).
Pramono berharap pelanggaran HAM dengan tak mengakomodir hak pilih ke-17 kelompok ini tak terjadi pada Pemilu 2024. Pramono menyebutkan pemantauan terhadap kelompok rentan itu dilakukan di 5 wilayah, yaitu Sumatera Utara (Sumut), Kalimantan Barat (Kalbar), Jawa Timur (Jatim), Banten, Jawa Barat (Jabar).
Pramono mengungkapkan Komnas HAM menyampaikan sejumlah temuan di sejumlah daerah, misalnya tidak ada TPS khusus di wilayah perkebunan/pertambangan terutama di wilayah perkebunan yang sangat luas di daerah Labuan Batu Utara, Labuan Batu Selatan, Sumatera Utara (Sumut). TPS khusus yang dibentuk seringkali belum menjangkau pekerja perkebunan.
Masih terkait pekerja perkebunan dan tambang, Pramono memberikan contoh terjadi mobilisasi pemilih sehingga oleh MK diputuskan waktu itu untuk melakukan pemungutan suara ulang ketika Pilkada yang lalu. Dengan demikian jika tidak ada perubahan kebijakan untuk mengakomodir pemilih-pemilih seperti ini, maka Komnas HAM menyebut daerah tersebut berpotensial menjadi persoalan yang sama.
Masih di Sumut, Komnas HAM juga menemukan terdapat diskriminasi terhadap masyarakat LGBTQ, karena kepala daerahnya mengatakan antiLGBT. Sehingga membuat kelompok tersebut semakin merasa tak aman.
“Kami berdiskusi dengan teman-teman masyarakat sipil memang ada terutama di kota Medan, ini teman-teman LGBT merasa semakin insecure gitu ya karena ada pernyataan dari pimpinan daerahnya yang menyatakan kota medan sebagai kota bebas LGBT,” tutur Pramono.
“Nah ini membuat teman-teman semakin insecure untuk datang ke TPS, bahwa mereka di data OK dalam DPT, tapi untuk datang ke TPS itu mereka merasa ter-discourage karena ada pernyataan terbuka dari kepala daerah yang secara terbuka mengatakan hal tersebut,” sambung dia.
Pramono kemudian menerangkan problem serupa juga terjadi di daerah lainnya. Intimidasi yang diterima kaum LGBT misalnya, saat namanya dipanggil berbeda dan dengan tampilan fisiknya di TPS, maka menjadi isu sensitif. Hal-hal ini, lanjut Komnas HAM, akan mengurangi minat kelompok LGBTQ ikut menyumbangkan suaranya.
“Saya setuju problem ini tidak terjadi di satu tempat, dari hasil pemantauan kita terjadi di semua tempat. Problem pertama misalkan antara identitas nama aslinya dengan ekspresi dianya itu kan berbeda, nama dia laki-laki, tapi ekspresi dia pakaiannya dan segala macam perempuan,” terang dia.
“Ketika nanti dia dalam DPT nanti ditulis jenis kelaminnya apa, kan problem, nanti kalau dipanggil mereka dengan nama yang mana misalnya itu baru dari sisi pendataannya, di data dari identitas ekspresinya. Kedua soal persekusi, ketidaknyamanan saat di TPS misalnya ada sautan sautan ‘suit-suit’, sautan-sautan memanggil. Mereka menjadi tidak nyaman,” tambah Pramono.
Komnas HAM lalu menyebut kelompok LGBT menjadi korban politisasi, pada musim Pilkada dan Pemilu. Misalnya ada caleg yang mengatakan akan memberantas LGBT, padahal caleg tersebut hanya ingin menaikkan jumlah pemilihnya dengan pernyataan kontroversial tersebut.
“Musim Pemilu Pilkada mereka rentan jadi korban politisasi. Jadi misalnya ada caleg-caleg partai-partai yang misalnya mengatakan kami anti LGBT kita akan memberantas LGBT, padahal itu sebenarnya ekspresi-ekspresi untuk kepentingan vote getting,” jelas dia.
“Jadi untuk menarik simpati masyarakat kelompok tertentu misalnya, nah ini yang jauh lebih berbahaya. Kerentanan ini yang masih terjadi di masyarakat kita yang ini butuh waktu panjang untuk menyadarkan masyarakat untuk bisa menerima kehadiran siapapun termasuk ekspresi ekspresi kecenderungan seksualitas yang beragam. Jadi ini problem di banyak tempat,” sambungnya.
Selain itu di Jawa Timur, Komnas HAM memaparkan ada kerentanan politik uang. Komnas HAM menyebut di Jawa Timur terdapat banyak pekerja yang melakukan pekerjaan di luar tempat domisilinya, sehingga pekerja tersebut rentan politik uang karena diminta pulang untuk melakukan pencoblosan pemilu.
“Kebetulan kami mengunjungi Sidoarjo dan beberapa kompleks industri di sana dan dari pengamatan sederhana kami para pekerja menyampaikan ya kami libur satu hari memang diberikan saat pemilu, tapi kan biaya juga kalau pulang kampung lalu harus balik lagi, itu salah satu contoh yang perlu perhatian dari penyelenggara, jadi perlu disiasati bagaimana supaya pekerja mendapatkan haknya, mereka harus dipastikan mendapatkan haknya dengan cara yang mudah, efektif, efisien,” kata Wakil Ketua Tim Komnas HAM, Saurlin P. Siagian.
Selain itu Komnas HAM juga mencatat ada beberapa temuan di Jawa Barat, msialnya ada diskriminasi terhadap masyarakat adat, dimana di Jawa Barat terdapat wilayah yang sulit dijangkau penyelenggara pemilu di Cirebon.
Selain itu Komnas HAM juga mencatat problem pendataan jumlah pemilih bagi kelompok rentan seperti tahanan, narapidana, pendataan pekerja migran, pekerja perkebunan/pertambangan, kelompok disabilitas, kelompok pekerja rumah tangga, lansia, LGBT, ODHA, pengungsi, tunawisma, perempuan, pasien dan tenaga medis RS, pemilih pemula.
Komnas HAM mencatat tahanan untuk menggunakan hak pilihnya cenderung sulit apabila tidak terdata dalam DPT. Oleh kaerna itu, Dukcapil diminta untuk melakukan upaya inisiatif untuk melakukan perekaman identitas kependudukan kepada para tahanan, baik yang berada di Rutan maupun yang berada di Lembaga Pemasyarakatan dan menyediakan TPS khusus bagi tahanan yang berada di Rutan dan Lembaga Pemasyarakatan.
“Persoalan pemenuhan hak pilih bagi tahanan terletak pada sulitnya melakukan pendataan terhadap tahanan karena proses hukum mereka yang masih bergulir dan status tahanan yang merupakan titipan di Lembaga Pemasyarakatan sehingga sewaktu-waktu bisa dipindahkan ke lokasi lain oleh pihak kepolisian. Pihak kepolisian pada umumnya tidak melakukan perekaman identitas kependudukan kepada para tahanan sebelum proses hukum mereka selesai sehingga sulit bagi tahanan untuk bisa menggunakan hak pilihnya,” ungkapnya.
Berikut sejumlah rekomendasi Komnas HAM terhadap KPU hingga Dukcapil:
- Memfasilitasi pemenuhan hak pilih kelompok rentan secara secara optimal mulai tahap pendataan pemilih, penetapan daftar pemilih tetap, kampanye, sosialisasi, pemungutan suara, penghitungan suara, dan pengesahan surat suara akhir;
- Menyusun database pemilih yang masuk kategori kelompok rentan yang bisa diperbaharui secara real time dan berkala berkoordinasi dengan Kemenkumham, Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri, dan Kemensos;
- Memberikan ruang diskresi bagi KPU daerah dalam upayanya memenuhi hak-hak kelompok rentan;
- Melakukan sosialisasi secara intensif di panti-panti sosial, rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, dan kelompok-kelompok rentan yang lain;
- Mendirikan TPS khusus di wilayah perkebunan dan pertambangan;
- Memprioritaskan penggunaan hak suara bagi kelompok rentan diantaranya penyandang disabilitas, lansia, dan ibu hamil dan menyusui.
Rekomendasi terhadap Ditjen Dukcapil:
- Memastikan sinkronisasi data kependudukan dengan data KPU sehingga menghasilkan data pemilih yang valid dan akurat termasuk bagi individu kelompok rentan;
- Memastikan perekaman eKTP dilakukan diantaranya untuk:
- pemilih pemula
- masyarakat di daerah terpencil/perbatasan
- masyarakat hukum adat
- warga binaan pemasyarakatan dan tahanan
- pemilih penyandang disabilitas (eKTP Disabilitas/eKTP D) (aud/idh/detik)