Jakarta – Pakar mengungkap dua fenomena iklim yang berkontribusi signifikan pada awetnya hujan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Simak penjelasannya.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkap sejumlah wilayah Indonesia berpotensi mengalami hujan lebat pada 1-2 Maret.
Dikutip dari Antara, wilayah Sumatera pada umumnya diperkirakan mengalami hujan ringan, dengan Bangka-Belitung dan Sumatera Utara berpotensi hujan sedang.
Sementara itu Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Aceh berpotensi hujan lebat.
Wilayah Jawa diprakirakan secara umum mengalami hujan ringan. Banten berpotensi hujan sedang. Sementara Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat berpotensi hujan lebat, dan di wilayah Bali, NTB, serta NTT berpotensi mengalami hujan ringan hingga lebat.
Kawasan Kalimantan secara umum diperkirakan cerah berawan, dengan Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat berpotensi hujan lebat.
Sulawesi kebanyakan cerah berawan. Namun, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah berpotensi hujan lebat. Wilayah Maluku dan Papua berpotensi hujan ringan hingga lebat.
BMKG juga menyebut kecepatan angin di sejumlah wilayah yang dilanda hujan mencapai 20 hingga 30 km/jam dari arah Barat.
Ada fenomena apa?
Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengungkapkan dua faktor penting pemicu hujan masih kukuh mengguyur RI di awal Maret.
Yakni, Lonjakan Lintas Utara Khatulistiwa atau Cross Equatorial Northly Surges (CENS) dan Vorteks Borneo atau badai.
“Mengapa hujan deras persisten disertai angin kencang melanda sebagian besar Indonesia saat ini? Saya akan fokus menjelaskan penyebab yg berkaitan dengan fenomena utama pada skala meso yg memiliki radius 2-200 km,” kicaunya di akun Twitter.
Menurutnya, saat ini ada dua fenomena utama yg terjadi di Laut China Selatan. Pertama, CENS yang merupakan penguatan angin dari utara yang memiliki kecepatan rata-rata di atas 5 meter/detik di wilayah Laut China Selatan bagian selatan dekat Laut Jawa.
Berdasarkan pantauan, indeks CENS mulai aktif sejak 21 Februari hingga sekarang.
“Angin dari utara yg kuat ini telah berperan memperkuat angin monsun hingga 2-3 kali lipat semula, sehingga memengaruhi angin kencang yg marak terjadi saat ini,” tuturnya.
Kedua, Vorteks Borneo. Vorteks adalah pusaran angin yang memiliki radius putaran pada skala meso, yaitu antara puluhan hingga ratusan kilometer.
“Saat ini, vorteks Borneo mulai terbentuk dekat ekuator di atas Laut China Selatan.”
Erma menjelaskan kedua faktor itu berinteraksi secara terus-menerus pada lokasi yang sama hingga kian membesar.
“Jika ada CENS atau cold surge terbentuk secara terus menerus dan berinteraksi dengan vorteks Borneo yg terus menerus memutar pada lokasi yg sama, makin lama makin kuat dan membesar selama lebih dari 72 jam atau empat hari, maka terbentuklah siklon tropis,” urainya.
Dia merujuk pada studi yang dilakukan Chang dkk. dari Department of Meteorology, Naval Postgraduate School, Monterey, California, AS (2003) mengenai pembentukan Taifun (siklon tropis) Vamei di ekuator dekat Singapura-Batam pada 27 Desember 2001.
Ia mengatakan, “kejadian ini sangat langka, oleh karena itu probabilitasnya terbentuk kembali sekitar 100-400 tahun sekali. Sebab belum tentu syarat-syarat bisa terpenuhi semuanya.”
Erma mengungkap Taifun Vamei itu terbentuk 12 tahun yang lalu. Saat ini, kedua fenomena yang menjadi syarat bagi siklon tropis itu terjadi.
“Efek langsung tentu saja mengenai wilayah yg masih berada dalam pusaran vorteks yaitu: Singapura, Batam, Pangkal Pinang, Babel, Kalbar.”
“Efek tak langsung adalah menyebabkan angin kencang di barat Indonesia, dan menciptakan daerah konvergensi luas di darat (Jawa, Sumatra) sehingga hujan turun persisten dg intensitas tinggi,” sambung dia.
Sebelumnya, para ahli sepakat bahwa cuaca ekstrem beberapa tahun belakangan terkait dengan fenomena perubahan iklim yang dipicu terutama oleh perusakan lingkungan.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Didi Satiadi pun menganalogikan situasi ini dengan motor yang putarannya makin cepat.
“Jadi mesinnya cuaca adalah dari Matahari, pemanasan. Kalau pemanasannya ini bertambah karena gas rumah kaca tadi, maka siklus hidrologi yang seperti rantai tadi akan berputar lebih cepat,” ujar dia, dalam acara Bincang Sains bertajuk ‘Waspada Cuaca Ekstrem’ secara virtual, Rabu (28/12/2022).
“Karena berputar lebih cepat, artinya lebih cepat terjadi penguapan, lebih intens, lebih deras hujannya, jadi lebih basah sekaligus lebih kering,” imbuhnya. (tim/arh/cnn)