Jakarta – Menko Polhukam Mahfud Md menyinggung soal anjloknya Indeks Persepsi Korupsi atau dalam bahasa Inggris adalah Corruption Perception Index (CPI) di Indonesia berkaitan dengan transaksi di balik meja yang terjadi di sektor eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Separah apa memang?
“Di tahun 2022, Indeks Persepsi Korupsi kita terjun dari 38 ke 34. Itu membuat kita kaget. Korupsinya makin menjadi-jadi berarti,” kata Mahfud, Minggu (11/6/2023).
Mahfud lantas mengundang lembaga-lembaga survei internasional dan nasional untuk mencari tahu penyebab anjloknya indeks persepsi korupsi Indonesia. Disimpulkan, menurut dia, bahwa conflict of interest atau konflik kepentingan menjadi penyebabnya.
Lebih lanjut, Mahfud menuturkan konflik kepentingan itu terjadi di DPR, MA, hingga di birokrat. Konflik kepentingan itu, menurut dia, menyebabkan terjadinya transaksi di balik meja.
“Di DPR terjadi transaksi-transaksi di balik meja, Mahkamah Agung (MA), pengadilan bisa membeli perkara. Di pemerintah, di birokrasi sama,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan temuan tersebut mungkin sulit dilihat oleh mata kepala orang Indonesia. Namun hal tersebut terlihat jelas di mata dunia internasional.
“Di DPR ada conflict of interest. Pekerjaan anggota DPR, tapi punya konsultan hukum. Nanti kalau ada masalah, ‘tolong dibantu ini, itu’. Dibawa ke pengadilan, pengadilannya korupsi lagi. Sampai hakimnya ditangkap, jaksa ditangkap, polisi ditangkap dan seterusnya,” tutur Mahfud.
Memangnya IPK yang disebut Mahfud itu apa sih?
Indeks Persepsi Korupsi atau IPK atau CPI dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100, yaitu 0 artinya paling korup, sedangkan 100 berarti paling bersih. Total negara yang dihitung Indeks Persepsi Korupsi adalah 180 negara.
Cabang dari Transparency International di Indonesia sendiri yaitu TII atau Transparency International Indonesia. Penelitian ini pertama kali diluncurkan sejak 1995 di mana metodologi yang digunakan untuk menentukan IPK mengalami sejumlah perubahan.
IPK untuk 2022 sendiri diluncurkan pada 31 Januari 2023 di mana hasilnya mencengangkan. Kenapa?
“CPI Indonesia tahun 2022 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 4 poin dari tahun 2021, atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” ungkap Wawan Suyatmiko selaku Deputi Sekretaris Jenderal TII saat peluncuran survei itu.
Setidaknya ada 8 indikator yang diambil untuk menentukan angka IPK Indonesia di tahun 2022. Berikut datanya:
1. World Justice Project – Rule of Law Index
Pejabat di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Polisi dan Militer menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi
2. Political and Economic Risk Consultancy
Seberapa parah korupsi di negara tempat beroperasi?
3. Political Risk Service
Korupsi dalam sistem politik. Konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha. Pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor-impor
4. Varieties of Democracy Project
Korupsi di eksekutif (eselon tertinggi hingga terendah), legislatif (suap untuk mempengaruhi pembuatan regulasi)
5. Bertelsmann Stiftung Transformation Index
Pejabat publik dituntut & dihukum; Keberhasilan Pemerintah
memberantas korupsi
6. Economist Intelligence Unit – Country Risk Service
Prosedur yang jelas & akuntabilitas dana publik; Penyalahgunaan sumberdaya publik; profesionalisme penyelenggara negara; Badan audit yang independen
7. IMD (Institute for Management Development) World Competitiveness Yearbook
Ada dan tidaknya korupsi dalam sistem politik
8. Global Insight Country Risk Ratings
Risiko individu/perusahaan berhadapan dengan suap atau praktik korupsi lainnya untuk menjalankan bisnis
Setidaknya 8 hal itu yang menjadi sumber bagi Transparency International untuk memetakan persoalan korupsi di Indonesia. TII sendiri memberikan 3 analisis singkat terkait anjloknya IPK Indonesia untuk tahun 2022. Apa saja?
1. Indikator ekonomi mengalami tantangan besar, antara progesifitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi
2. Indikator politik tidak terjadi perubahan signifikan. Korupsi politik masih marak ditemukan. Jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha masih lazim terjadi
3. Indikator penegakan hukum antikorupsi terbukti belum efektif dalam menengah dan memberantas korupsi. Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum.
Sementara itu, situasi Indonesia pada IPK 2022 disebut TII semakin tenggelam di posisi sepertiga negara terkorup di dunia dan jauh di bawah rata-rata skor IPK di negara Asia-Pasifik yaitu 45. Negara terbesar di Asia Tenggara ini berbagi posisi dengan Bosnia and Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone dengan skor 34.
Sementara posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara menduduki peringkat 7 dari 11 negara, jauh di bawah sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam dan Thailand. Secara global, Denmark (90) berada di puncak indeks tahun 2022, yang diikuti oleh Finlandia dan Selandia Baru, keduanya mendapatkan skor 87.
Merujuk pada hal itu, TII memberikan 3 rekomendasi agar Indonesia bisa merangsek naik IPK-nya. Berikut 3 rekomendasi yang disampaikan TII:
1. Politik dan Pemilu Berintegritas
Presiden dan Pemerintah, DPR dan Partai Politik, Lembaga Penyelenggara dan Pengawasan Pemilu, serta Lembaga Penegakan Hukum harus menjamin prinsip integritas dan antikorupsi.
2. Kebijakan Ekonomi Antikorupsi
Pemerintah bersama pihak swasta harus konsisten dalam membangun sistem antikorupsi.
3. Demokrasi dan Ruang Sipil
Pemerintah harus menjamin kebebasan sipil dan ruang aspirasi publik dalam pembentukan regulasi hingga implementasi pembangunan.
Di sisi lain pada Kamis, 9 Februari 2023, KPK sebagai lembaga terdepan pemberantasan korupsi ikut urun rembug. Ketua KPK Firli Bahuri merujuk pada data TII bila 3 dari 8 indikator di atas mengalami penurunan signifikan yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, dan PERC Asia Risk Guide.
“Ketiga aspek ini sangat berpengaruh pada sektor prioritas di Indonesia yaitu sektor dunia usaha, sektor politik, dan sektor layanan publik,” kata Firli dalam keterangannya saat itu.
Firli mengatakan berdasarkan risk assessment ada konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha. Perilaku suap untuk mendapatkan perizinan ekspor, perizinan impor, proses pemeriksaan pajak, dan pinjaman yang masih terus terjadi.
Hubungan ilegal politik dan bisnis, sistem kroni, nepotisme, reservasi jabatan, imbal bantuan, pendanaan rahasia juga masih masif. Di sisi lain, penyebab menurunnya IMD World Competitiveness ialah tingkat suap dan korupsi di dalam dunia usaha sehingga terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dengan menggunakan cara-cara kotor.
“Sementara penurunan PERC dipengaruhi pada persepsi korupsi di kalangan eksekutif lokal, akademisi, dan ekspatriat yang sering ditemukan di institusi,” ujar dia.
Pernyataan Mahfud
Sejatinya data ini bukan baru-baru ini diungkap Mahfud. Pada 30 Mei lalu, Mahfud juga mengutip hasil penelitian TII mengenai indeks persepsi korupsi Indonesia yang anjlok dari angka 38 ke 34.
“Indeks persepsi korupsi kita itu turun. Dari 38 yang… 38 itu jelek sebenarnya, tetapi turun lagi menjadi lebih jelek lagi menjadi 34 tahun ini. Kenapa? Karena korupsi. Di mana itu korupsi? Hasil temuan Transparency International itu korupsinya ada di DPR,” kata Mahfud dalam dialog kebangsaan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ladelero, Maumere, NTT, Selasa (30/5/2023).
Di lokasi yang sama hadir pula anggota DPR Fraksi PDIP Andreas Hugo Pareira. Mahfud menyebut korupsi di DPR berkaitan dengan pembuatan undang-undang.
“Itu hasil temuan loh. Pak Pareira itu anggota DPR pasti baca dia hasil laporan TI ya bahwa korupsi pertama itu DPR, perdagangan undang-undang, pembuatan undang-undang itu pakai bayar itu menurut hasil penelitian itu,” ucap Mahfud.
“Ya kalau ditanya satu-satu pasti nggak ada yang ngaku tapi itu hasil internasional di mana orang di luar negeri itu kalau berurusan, ini internasional, Pak sulit di DPR harus bayar begini, ini kasusnya, gitu,” imbuhnya.
Selain itu, kata Mahfud, salah satu persoalan anggota DPR itu terkait konflik kepentingan atau conflict of interest. Menurut Mahfud, anggota DPR yang memiliki profesi lain yang bersinggungan dengan mitra-mitra kerjanya sangat memungkinkan terjadi konflik kepentingan.
“Ada anggota DPR yang terlibat dalam conflict of interest. Apa conflict of interest-nya? Dia menjadi anggota DPR lalu punya kantor pengacara sehingga setiap dia ketemu dengan polisi, kejaksaan agung, ‘Tolong dong bantu tuh kantor pengacara itu’ padahal punya dia, ‘Saya nitip perkara’, sejatinya dia itu markus, makelar kasus. Lha iya, lha ini hasil penelitian,” kata Mahfud.
Mahfud mengaku sempat penasaran atas hasil penelitian TII itu. Dia kemudian memanggil sejumlah penegak hukum untuk mengetahui hal tersebut.
“Ini kok TII berani-beraninya sih neliti gitu, saya panggil beberapa jaksa, saya panggil beberapa hakim yang teman dekat saya, apa betul tuh anggota DPR yang itu tuh suka ngurus perkara, ‘Oh iya pak pernah ke sini dia, ngurus perkaranya ini’ Apa bilangnya? Gimana caranya agar orang ini bebas. Terus kami bilang apa? ‘Saya bilang nggak ada caranya karena dia akan tetap dihukum. Nah itu hakim yang bagus. Kalau hakim yang tidak bagus, ‘Ya gimana pak caranya, bapak punya uang berapa’, nah gitu kan,” kata Mahfud. (fas/dhn/detik)