Jakarta – Isra Mi’raj adalah perjalanan yang melampaui kecepatan cahaya dengan tujuan akhir langit ketujuh. Bagaimana sains memandang fenomena ultra-ajaib ini?
Peringatan turunnya perintah shalat lima waktu itu jatuh pada hari ini, Sabtu (18/2). Petualangan suci di Abad 7 M yang dalam versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut sebagai Isra Mikraj itu hanya berlangsung dalam semalam.
Itu bermula saat Nabi Muhammad, ditemani Malaikat Jibril, pergi dari Masjidilharam, Mekkah, Arab Saudi, ke Baitul Maqdis, Masjid Al-Aqsa, Palestina.
Google Maps menyediakan opsi perjalanan darat dengan mobil dengan rute tersingkat 16 jam 37 menit dengan jarak 1.471 km. Tak ada opsi perjalanan udara.
Dari titik terakhir, Nabi Muhammad naik dari Bumi langsung ke Sidratulmuntaha di langit ke tujuh untuk menerima perintah salat lima waktu. Selesai misi, ia kembali ke umatnya di jazirah Arab.
Satu entitas yang juga berperan penting dalam perjalanan ini adalah Buroq atau Buraq atau Burak, hewan anggun bersayap yang secara harfiah berarti kilat.
Kecepatan cahaya
Fisika hari ini, terlepas dari berbagai eksperimen baru, masih mengacu pada cahaya sebagai entitas dengan kecepatan tertinggi, yakni 299.792,458 km/detik.
Ia terdiri dari foton yang tak bermassa, hingga membuatnya tak butuh energi untuk melaju. Tak ada materi yang bisa melampaui kecepatannya.
Fisikawan Albert Einstein, lewat teori relativitas umum dan khusus, menyebut makin mendekati kecepatan cahaya, materi akan membutuhkan energi teramat besar dengan waktu yang melambat.
Bagaimana Nabi Muhammad, Jibril, dan Buroq melampauinya?
Guru Besar Teori Fisika Institut Tekonologi Surabaya (ITS) Agus Purwanto, dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, mengatakan, peristiwa Isra Mi’raj tidak bisa dijelaskan dari sisi Teori Relativitas Khusus Einstein.
“Cahaya ini diketahui oleh ilmuwan dan diidentifikasi bahwa kecepatan cahaya itu 300.000 km/detik. Sehingga jika cahaya ini melingkar mengelilingi Bumi, maka satu detik ini bisa mengelilingi bumi sekitar 6 sampai 7 kali,” ungkapnya.
Dua postulat utama teori ini adalah bahwa, pertama, kecepatan cahaya di ruang hampa bergerak ke semua arah sama besarnya untuk semua pengamat, tidak bergantung kepada gerakan sumber cahaya atau pengamat itu.
Kedua, semua Hukum Fisika bisa dinyatakan dengan bentuk persamaan yang bentuknya sama pada semua kerangka acuan inersia atau kelembaman (kondisi objek menolak perubahan terhadap kondisi geraknya).
Agus menjelaskan, jika memakai Teori Relativitas Khusus, Rasulullah Muhammad SAW belum keluar dari sistem Tata Surya.
“Kita asumsikan kejadian mulai ba’da (selepas) salat Isya atau jam 20.00 sampai jam 4.00 pagi menjelang Subuh. Jadi membutuhkan waktu 8 jam. Karena perjalanannya bolak-balik, maka antara pulang pergi memerlukan waktu yang sama 4 jam,” katanya.
Lantaran menggunakan Buraq, Agus menilai Rasulullah melaju dengan kecepatan cahaya. Alhasil, dalam satu jam, Agus menyebut Rasulullah bisa menempuh jarak sampai 4.320.000.000 km.
Jarak tersebut lebih pendek daripada jarak Neptunus yang merupakan planet terluar dengan Bumi.
“Neptunus itu diketahui jaraknya 4.335.000.000 km. jadi ini masih lebih besar dari jarak yang ditempuh oleh cahaya selama 4 jam, artinya Baginda Rasulullah dalam waktu 4 jam belum sampai di Neptunus. Ternyata belum sampai keluar dari Tata Surya kita,” ungkapnya.
Agus pun menyebut Isra Mi’raj bisa menggunakan Teori Relativitas Umum.
Teori yang dicetuskan Einstein 10 tahun setelah Teori Relativitas Umum itu intinya menyebut objek yang dalam kondisi inersia bisa saling mempercepat terhadap acuan yang lain. Gravitasi jadi fokusnya karena bisa melengkungkan ruang-waktu.
Agus menilai teori tersebut mengisyaratkan “adanya ruang dan dimensi tinggi, imaterial atau gaib, di sekitar manusia.”
Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antaraksa (ORPA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan Isra Mi’raj ada kaitannya dengan perjalanan antar-dimensi.
Ia merujuk kepada perjalanan Rasulullah menggunakan buraq untuk sampai ke langit ke tujuh atau Sidratul Muntaha.
“Sidratulmuntaha ini lambang batas yang tidak seorang manusia atau makhluk lain bisa mengetahui lebih jauh,” kata Thomas dalam siaran di kanal Youtube Alhidayah Badan Geologi.
Thomas mengatakan pada dasarnya manusia hidup dalam dimensi ruang-waktu. Dimensi manusia dibatasi oleh ruang dan waktu tersebut.
Hal itu dibuktikan dengan adanya ruang, jarak jauh-dekat, masa lampau-sekarang, masa depan, serta waktu singkat dan lama. Menurut Thomas ketika mengendarai Buroq, Rasulullah sedang keluar dari dimensi tersebut.
“Dan dengan Buroq itu (Rasulullah SAW) keluar dimensi waktu ruang. Pertemuan di langit itu menggambarkan Rasul tidak lagi terikat pada waktu,” kata Thomas.
“Jadi tidak perlu lagi bertanya, dan tidak relevan lagi bertanya di mana itu [pertemuan di langit yang ketujuh]. Sudah keluar dari dimensi ruang waktu,” imbuhnya.
Tujuh lapis langit
Thomas juga buka suara soal kisah perjalanan naik ke tujuh lapis langit. Menurut perspektif sains, Thomas mengatakan, dalam peristiwa Isra Mi’raj, tujuh lapis langit itu bermakna benda langit tidak berhingga.
Menurut dia, tidak ada lapisan langit dan atmosfernya secara nyata di alam semesta.
Dalam sains, jelasnya, atmosfer dibedakan berdasarkan derajat suhu dan lainnya, namun tidak secara khusus berlapis. Sementara itu, langit mencakup wilayah orbit satelit, orbit bulan, dan juga tata surya.
“Struktur besar alam semesta yang tidak hingga itu disebut tujuh langit,” kata Thomas.
Hal itu dapat dilihat dari analogi makna tujuh langit yang tidak berhingga pada surat Luqman ayat ke-27. “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana,” tuturnya, mengutip ayat kitab suci. (lth/arh/CNN)