MAJALAHBUSER. Com – Lembaga Amnesty International mendesak pembebasan ‘tanpa syarat’ pilot Susi Air, Philip Max Mehrtens, yang disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sejak empat bulan lalu. Alasannya, penyanderaan warga sipil itu melanggar hak asasi manusia.
Tuntutan ini kembali disuarakan pegiat HAM setelah TPNB-OPM mengancam akan menembak mati pilot warga negara Selandia Baru itu jika Indonesia menolak dialog yang melibatkan dunia internasional.
“Kami mendesak agar sandera itu segera dilepaskan tanpa syarat. Karena itu tidak menghormati hak asasi manusia,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia kepada BBC News Indonesia pada Rabu (31/05).
“Saya kira semua pihak harus menahan diri untuk tidak melakukan serangan terhadap warga dan mengutamakan [keselamatan] warga sipil,” katanya.
Ia mengaku khawatir akan ada lebih banyak korban sipil yang jatuh akibat konflik bersenjata di Papua tidak diselesaikan dengan damai.
Seruan serupa juga diungkapkan oleh Theo Hasegem, yang menyarankan agar pemerintah Indonesia dan pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) segera membuka ruang untuk bernegosiasi demi menyelamatkan pilot Susi Air, Philip Max Mehrtens.
Khususnya, ia mengatakan kelompok TPNPB-OPM perlu mengirim utusan untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka kepada pemerintah.
“Saya ingin supaya pilotnya bebas. Tapi kan ini, pertama kita ini, perlu Egianus mempercayakan seseorang untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah. Soal pemerintah mau atau tidak itu soal kedua, kata Theo.
Pekan depan, penyanderaan pilot Susi Air asal Selandia Baru oleh kelompok TPNPB-OPM akan memasuki bulan keempat, dan hingga sekarang belum ada tanda-tanda akan dibebaskan.
Sementara, Kasatgas Humas Ops Damai Cartenz Kombes Donny Charles Go masih mengupayakan pembebasan pilot dan mengaku belum dapat memberikan informasi lebih lanjut terkait keberadaan pilot kepada publik.
“Ya, jadi kan ada beberapa pos yang diisi oleh TNI Polri. Jadi tempat-tempat yang sudah dikuasai, tujuannya hadir di sana untuk mempersempitkan ruang gerak dari para penyandera ini, kata Donny.
Sebelumnya, minggu lalu, OPM mengancam akan membunuh sang pilot jika Jakarta tidak melibatkan pihak internasional sebagai mediator di meja perundingan.
Pihak OPM memang sejak awal sudah menuntut keterlibatan pihak negara lain sebagai perantara dalam dialog dengan pemerintah Indonesia soal kemerdekaan Papua.
Walau begitu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan masalah penyanderaan pilot Susi Air akan diselesaikan secara internal.
Artinya, pemerintah Indonesia tidak akan melibatkan negara lain dalam upaya penyelamatan.
“Kami tangani sendiri secara internal, kami kebijakannya enggak boleh melibatkan negara lain,” ujar Mahfud kepada media dalam acara Rapat Koordinasi Nasional di Jakarta Selatan, Senin (29/5).
Menanggapi himbauan agar sandera dibebaskan, juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menolak untuk membebaskan pilot sampai pemerintah Indonesia setuju untuk melibatkan pihak luar negeri.
“Jadi Panglima Egianus kasih warning. Harus cepat, bergerak, bertindak, memulai. Memang bicara, duduk, cari jalan dan solusi,” kata Sebby.
Penyanderaan Ini Harus Dihentikan, Termasuk Juga Tindakan Bersenjata
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa penyanderaan warga sipil melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang mendasar, yakni hak atas kehidupan, keselamatan, rasa aman, dan kebebasan individu.
Dalam konteks ini, sambungnya, pilot yang disandera merupakan individu yang tidak bersalah dan seharusnya tidak terlibat dalam konflik yang tengah berlangsung.
“Dalam pandangan Amnesty, seorang pilot dalam kasus ini merupakan pilot yang bekerja di maskapai penerbangan sipil Susi Air dan karena itu ia tidak bisa ditarik ke dalam permusuhan. Apalagi menjadi sandera,” katanya.
“Sehingga itu keliru dan melanggar hak asasi manusia. Jadi harus dibebaskan tanpa syarat,” tegas Usman.
Menurut Usman, sebaiknya kelompok TPNPB-OPM sebaiknya menghormati hak asasi manusia dan memprioritaskan keselamatan warga sipil termasuk Philip Mehrtens.
“Dengan menghindari penggunaan-penggunaan perlawanan bersenjata yang bisa mengorbankan warga sipil maupun properti sipil. Termasuk penyanderaan ini harus dihentikan, termasuk juga tindakan bersenjata yang melanggar hukum,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia seharusnya tidak menutup diri terhadap kerja sama dengan pihak internasional. Khususnya, dengan pemerintah Selandia Baru yang memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara mereka.
“Kalau pemerintah Indonesia menutup diri padahal peristiwa ini terjadi di wilayah mereka, Indonesia. Saya khawatir itu justru merugikan keselamatan warga sipil dan memperburuk citra dunia terhadap pemerintah Indonesia,” ungkap Usman.
Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Papua Theo Hasegem menilai ancaman dari TPNPB-OPM untuk menembak pilot yang mereka sandera bukan cara yang tepat dalam penyelesaian konflik di Papua.
“Saya pikir itu hanya suatu ancaman teror yang disampaikan kelompok Egianus dan kawan-kawan. Tapi saya pikir langkah yang kuat itu adalah langkah-langkah negosiasi, negosiasi. kalau memang pemerintah Indonesia mampu melakukan negosiasi dengan TPNPB,” katanya.
Senada dengan Usman, Theo mengatakan bahwa Philip sedang berada dalam keadaan yang membahayakan hidupnya dan mengancam hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, ia harus segera dibebaskan.
“Hak dia untuk hidup dan keluarga terus hak dia untuk bisa berpikir segala-galanya, itu semua akan dibatasi dengan cara itu, tapi kan sekarang dia sudah diancam,” kata Theo.
Menurut dia, pemerintah pusat seharusnya bisa melakukan negosiasi dengan pihak TPNPB-OPM seperti halnya mereka pernah melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beberapa tahun lalu.
“Jadi saya pikir yang pertama itu pemerintah pusat bisa melihat persoalan ini. Persoalan penyanderaan pilot itu, sehingga bisa membuka ruang dialog seperti Aceh. Kan Aceh bisa, lalu Papua tidak bisa ini kan sebenarnya Indonesia mampu melakukan dialog seperti Aceh,” kata Theo.
Ia merasa bahwa akan sulit jika Indonesia terus berupaya untuk melakukan operasi penyelamatan pilot dengan kemampuan mereka sendiri. Sebab, mereka menghadapi medan alam dan iklim yang sulit ditembus di wilayah Papua.
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah Indonesia segera melibatkan pihak internasional dalam berdialog agar dapat menyelamatkan pilot yang disandera.
“Saya pikir pihak pemerintah internasional tidak akan terlibat semudah itu kalau pemerintah Indonesia tidak mengizinkan pihak internasional terlibat, itu akan susah,” kata dia.
Meski begitu, ia menilai pemerintah pusat masih ragu untuk melibatkan pihak internasional dalam negosiasi kemerdekaan Papua karena bisa saja merugikan posisi pemerintah Indonesia.
“Menko Polhukam juga berpikir kalau bicara soal dialog melibatkan internasional itu kemungkinan Papua bisa lepas dari NKRI, itu yang mungkin beliau pikir,” ujar Theo.
Bagaimana respons pemerintah terhadap tuntutan TPNPB-OPM?
Dalam Rapat Koordinasi Nasional pada Senin (29/05), Mahfud MD mengatakan pemerintah masih mengupayakan segala cara untuk menyelamatkan Philip dari penyanderaan TPNPB-OPM.
Namun, ia juga menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin melibatkan negara lain dalam penyelamatan pilot Susi Air itu.
“Itu ya kami tangani sendiri secara internal kami kebijakannya enggak boleh melibatkan negara lain.
“Apapun taruhannya tidak boleh internasional ke situ, karena kalau itu diiyakan, nanti akan merembet, ke PBB, ke mana. Ternyata ada ini, ada itu sehingga kita tolak setiap upaya campur tangan internasional yang disodorkan oleh LSM internasional yang datang ke kita,” kata Mahfud kepada media.
Kasatgas Humas Ops Damai Cartenz Kombes Donny Charles Go mengatakan bahwa tim gabungan TNI-Polri telah menempati sejumlah pos di daerah Ndugma dan sekitar. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan mempersempit ruang gerak kelompok penyandera pilot.
Selain melanjutkan upaya pencarian pilot, mereka juga berkoordinasi dengan tim negosiasi yang dibentuk oleh pemerintah daerah agar dapat berunding dengan kelompok TPNPB-OPM.
“Yang pasti kita terus berupaya mencari kemudian dari pihak pemerintah daerah atau masyarakat juga tetap melakukan upaya negosiasi, karena mereka yang punya akses
“Walaupun mungkin sampai sekarang belum ada hasil yang memuaskan, tapi namanya proses negosiasi kan harus perlu dilakukan,” kata Donny kepada BBC Indonesia, Rabu (31/5).
Namun, Donny belum bisa memberikan informasi terkait keberadaan pilot saat ini. Ia mengungkapkan bahwa memang aparat keamanan kesulitan menemukan pilot karena medan daerah itu yang menjadi tantangan tersendiri.
“Wilayah Nduga juga itu luas sekali. Jadi memang, ya butuh waktu. Kemudian, ya, medannya yang begitu ekstrim, cuacanya juga sangat luar biasa,” kata Donny.
TPNPB-OPM menolak untuk membebaskan pilot
Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengatakan kelompoknya menolak untuk membebaskan pilot Susi Air asal Selandia Baru sampai tuntutan mereka terpenuhi.
Jika dalam tenggat waktu dua bulan permintaan mereka tak kunjung dikabulkan, maka ia mengeklaim sang pilot akan fibunuh.
“Kan namanya sandera itu tidak bisa dibebaskan tanpa syarat, karena aturan begitu. Orang sandera itu punya maksud, tujuan. Maka tujuannya sampai baru bisa lepas,” katanya.
Ia kemudian mengkritik para pegiat HAM yang menyuarakan agar pilot itu dibebaskan dengan alasan kemanusiaan. Sebab, menurut dia, Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap masyarakat Papua.
“Mereka tidak pernah bicara tentang orang Papua yang dibunuh Indonesia 60 tahun ini. Indonesia bunuh kami, mereka tidak pernah bicara mereka tidak pernah bahas Indonesia ke pengadilan internasional,” katanya.
Tuduhan Sebby ini tidak menggambarkan kenyataan secara menyeluruh, karena para pegiat HAM – termasuk Komnas HAM – sudah mempersoalkan berbagai pelanggaran HAM di Papua, walau tidak semua ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Lebih lanjut, Sebby mengatakan bahwa Philip Max Mehrtens bukan merupakan individu yang tak bersalah. Sebab, menurut dia, Philip mengantongi surat izin terbang dari TNI ke wilayah Papua.
“Orang pilot itu kami sudah bilang jelas-jelas dia kan bekerja untuk Indonesia. Jadi dia bagian dari pada kedudukan di Papua, menjajah kami, menduduki kami untuk mengambil hak kami. Kami sudah menemukan surat izin itu. Itu artinya dia kan dibawah kendali Panglima TNI menyerangkan pesawat tugas di Papua. Dia kan melayani Indonesia, antar-antar segala polisi selama ini,” ungkap Sebby.
Pernyataan Sebby tentang ‘surat izin terbang’ sang pilot ini belum terklarifikasi.
Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah Indonesia segera menjalankan negosiasi dengan pihak Selandia Baru dalam rangka merundingkan kemerdekaan Papua demi menyelamatkan pilot Philip Max Mehrtens.
“Kami kan yang baik untuk negosiasi. Tapi Jakarta juga tolak, Selandia Baru juga tolak. Itu kan lucu. Karena Jakarta, jadi Panglima Egianus kasih warning. Harus cepat bergerak, bertindak, memulai. Kira-kira paham, harus bergerak memulai,” katanya.
Pilot Susi Air sudah hampir empat bulan disandera
Penyanderaan pilot Susi Air berkewarganegaraan Selandia Baru, Philip Max Merthens yang diduga dilakukan KKB pimpinan Egianus Kogoya sudah berlangsung hampir empat bulan, sejak 7 Februari 2023.
Pilot tersebut disandera oleh kelompok pimpinan Egianus Kogoya, TPNPB-OPM, yang membakar pesawat Susi Air di Lapangan Terbang Distrik Paro, Nduga, Papua Pegunungan.
Pihak TPNPB-OPM telah berulang kali menggambarkan kondisi pilot yang masih berada di dalam tahanan mereka.
Kelompok itu mengirimkan sejumlah video yang menunjukkan sang pilot berbicara mengenai keadannya sambil berdiri di samping para anggota kelompok yang memegang senjata.
Dalam video terbaru yang dikirim oleh juru bicara TPNPB-OPM, Philip terlihat duduk bersebelahan dengan Egianus Kogoya berkata bahwa TPNPB-OPM memberi waktu dua bulan kepada Indonesia dan Selandia Baru untuk berdialog soal kemerdekaan Papua.
Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri, mengatakan pihaknya masih memaksimalkan upaya negosiasi untuk membebaskan pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Max Mehrtens.
Salah satunya dengan menggandeng Dewan Gereja serta Uskup. Selain itu, Polri juga membuka pintu untuk Komnas HAM.
Mathius menambahkan, Polda Papua juga sudah mengirim tim khusus yang akan mengawal proses negosiasi.
Keputusan menempuh jalan negosiasi ini diambil usai lima prajurit TNI tewas dalam baku tembak dengan TPNPB-OPM di Kabupaten Nduga yang sedang melakukan operasi penyergapan ke lokasi penyanderaan.
Insiden pada akhir April lalu itu membuat Panglima TNI Yudo Margono memerintahkan anggotanya menggelar operasi siaga tempur darat di beberapa wilayah yang dianggap rawan di Papua. (ita/ita/detik)