Jakarta – Sebanyak enam tokoh diberikan gelar Pahlawan Nasional. Gelar tersebut diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke perwakilan keluarga bertepatan pada momen peringatan Hari Pahlawan 2023.
Adapun upacara pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun 2023 digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat (10/11/2023). Penganugerahan itu diterima oleh perwakilan dari masing-masing keluarga keenam tokoh yang hadir di Istana Negara.
Keenam tokoh tersebut yaitu almarhum Ida Dewa Agung Jambe dari Bali, almarhum Bataha Santiago dari Sulawesi Utara, almarhum M Tabrani dari Jawa Timur, almarhum Ratu Kalinyamat dari Jawa Tengah, almarhum KH Abdul Chalim dari Jawa Barat, dan almarhum KH Ahmad Hanafiah dari Lampung.
Berikut profil keenam tokoh yang menerima gelar Pahlawan Nasional di tahun 2023 yang dirangkum detikcom:
1) Ida Dewa Agung Jambe dari Bali
Dikutip dari situs Kabupaten Klungkung, Ida Dewa Agung Jamben adalah seorang raja dari Kerajaan Klungkung pada tahun 1686. Sosok penerus Dinasti Gelgel, anak dari raja Kerajaan Gelgel sebelumnya, Dalem Di Made.
Ida Dewa Agung Jambe gugur saat perang puputan melawan Belanda pada 28 April 1908. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai Hari Puputan Klungkung dan menjadi hari ulang tahun (HUT) Kota Semarapura.
Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa di Bali terjadi lima kali perang puputan. Salah satunya Puputan Klungkung pada masa pemerintahan Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Gede Jambe, saat melawan Belanda.
2) Bataha Santiago dari Sulawesi Utara
Dikutip dari situs Kemdikbud, Bataha Santiago adalah Raja Manganitu yang memerintah pada 1670-1675. Ia merupakan raja ketiga Manganitu yang wilayahnya kini berada di Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
Menurut situs Diskominfo Provinsi Sulut, Bataha Santiago adalah sosok yang memiliki jiwa dan sikap gotong-royong yang kuat. Sosok berpendirian yang teguh, ia juga dikenal dengan sebutan ‘Banala Pesasumbalaeng’.
Pada 1675, Gubernur Belanda Robertus Padtbrugge datang di Maluku untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Santiago. Namun, ajakan itu ditolak oleh Bataha Santiago.
Bataha Santiago juga menolak kerja sama VOC. Beberapa kali ia dibujuk menandatangani Lange Contract (Pelakat Panjang), tetapi menolak. Prinsipnya, lebih memilih tiang gantungan daripada tunduk pada Belanda.
Bataha Santiago bersama para pengikutnya terlibat dalam peperangan yang berlangsung selama empat bulan melawan VOC. Ia akhirnya ditangkap dan dihukum mati pada tahun 1675 di Tanjung Tahuna.
3) M Tabrani dari Jawa Timur
Dikutip dari situs Badan Bahasa Kemdikbud, M Tabrani atau Mohammad Tabrani Soerjowitjitro lahir di Pamekasan, Madura pada 10 Oktober 1904. Ia menamatkan pendidikan di MULO dan OSVIA.
Tabrani dikenal sebagai seorang wartawan. Hindia Baroe, Pemandangan, Suluh Indonesia, Koran Tjahaya, dan Indonesia Merdeka merupakan nama media massa yang pernah dinaungi M Tabrani.
Dia juga dikenal sebagai tokoh penggagas bahasa Indonesia. Tulisannya berjudul ‘Bahasa Indonesia’ pada kolom Kepentingan secara jelas mengemukakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Sosoknya terus memperjuangkan penggunaan bahasa Indonesia. Sang penggagas bahasa persatuan Indonesia itu pun wafat pada tanggal 12 Januari 1984 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
4) Ratu Kalinyamat dari Jawa Tengah
Dikutip dari buku ‘Ratu Kalinyamat: Sejarah atau Mitos’ oleh Bambang Sulistyanto, Ratu Kalinyamat adalah putri Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah, Sultan Demak pertama. Bernama asli Ratna Kencana.
Ratu Kalinyamat menikah dengan Pangeran Hadiri, putra Sultan Ibrahim dari Aceh yang bergelar Sultan Mughayat Syah. Sepeninggal suaminya, ia menggantikan suaminya Hadiri menjabat sebagai raja di Jepara.
Selama masa kekuasaannya, Jepara berkembang menjadi Bandar terbesar di pantai utara Jawa, dan memiliki armada laut yang besar dan kuat. Pelabuhan Jepara pun menjadi pusat pengiriman ekspedisi-ekpedisi militer.
Di bawah pemerintahannya, pada pertengahan abad ke-16 perdagangan Jepara dengan daerah seberang laut semakin ramai. Pedagang-pedagang Jepara turut menjalin hubungan dengan pasar internasional Malaka.
Ratu Kalinyamat diperkirakan memimpin Jepara selama 30 tahun, mulai tahun 1549 sampai 1579. Selama 30 tahun masa kepemimpinannya itu, Jepara mencapai masa kejayaannya.
5) KH Abdul Chalim dari Jawa Barat
Dikutip dari situs NU Online, KH Abdul Chalim lahir di Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, tahun 1898. Ia merupakan putra dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Suntamah.
Masa kecil Kiai Chalim belajar di Sekolah Raja (sekolah umum bagi kalangan tertentu pada masa penjajahan Belanda) selama dua tahun. Selanjutnya, Kiai Chalim melanjutkan pendidikan di pesantren-pesantren.
Pada 1914, ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, KH Abdul Chalim menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz selama dua tahun. Di sana ia sempat menimba ilmu dari ulama-ulama masyhur.
KH Abdul Chalim juga termasuk anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI). Organisasi para ulama Nusantara yang berorientasi menentang kebijakan-kebijakan penjajahan Kolonial Hindia-Belanda di Nusantara.
Melalui SI, kebijakan-kebijakan penjajah yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat ditentang secara konstitusional. Hingga akhirnya para ulama pengurus SI menggabungkan diri ke NU.
Dalam sejarah NU saat berdirinya Komite Hijaz, Kiai Chalim menjadi komunikator kunci antara para alim ulama seluruh Jawa. Kemudian, pada tahun 1958 Kiai Chalim menjadi pelopor pembentukan Pergunu.
6) KH Ahmad Hanafiah dari Lampung
Dilansir situs NU Online, Ahmad Hanafiah adalah seorang pejuang kemerdekaan sekaligus ulama berpengaruh dari Kota Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Ahmad Hanafiah lahir di pada tahun 1905.
Semasa hidupnya, Ahmad Hanafiah pernah mengenyam pendidikan di Sukadana. Selain belajar agama Islam kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar di sejumlah pondok pesantren di luar negeri.
Ahmad Hanafiah pernah menjadi menjadi Ketua Himpunan Pelajar Islam Lampung di kota Mekah, Arab Saudi. Selama di Mekah, ia juga mengajar ilmu pengetahuan agama Islam di Masjidil Haram pada tahun 1934-1936.
Sekembalinya ke Indonesia, Ahmad Hanafiah aktif sebagai mubaligh di Lampung dan menjadi Ketua Serikat Dagang Islam (SDI) di wilayah Kawedanan Sukadana (1937-1942).
KH. Ahmad Hanafiah tercatat gugur di medan perang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan RI dari aggressor Belanda menjelang malam 17 Agustus 1947 di Front Kamerung, Baturaja, Sumatera Selatan. (wia/idn/detik)