Pengunjuk rasa tolak tunjangan anggota DPR mencoba menyelamatkan rekannya saat aksi unjuk rasa di Jalan Letjend S Parman, depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/08). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

Jakarta – Suara-suara kritik terhadap lembaga legislatif memenuhi jagat media sosial sepanjang Agustus 2025. Seruan seperti “Bubarkan DPR!” pun berseliweran di linimasa.

Kondisi ini menggambarkan kepercayaan publik pada “wakil rakyat” di Senayan yang mulai memudar karena kekecewaan yang dirasakan.

Gelombang kritik terhadap DPR sebenarnya bukan hal baru.

Isu soal gaji dan tunjangan jumbo anggota dewan bahkan sudah lebih dulu memicu perdebatan publik.

Namun, kontroversi itu semakin menjadi sorotan setelah Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyampaikan pernyataan yang keliru mengenai kenaikan drastis tunjangan para legislator.

Pada Selasa (19/8/2025), Adies menyebut tunjangan beras untuk anggota dewan mencapai Rp 10 juta dan naik menjadi Rp 12 juta per bulan.

Dia juga menyatakan tunjangan bensin meningkat dari Rp 3 juta menjadi Rp 7 juta.

Pernyataan itu langsung menyulut amarah publik. Angka fantastis tersebut dirasa terlalu besar di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit.

Keesokan harinya, Adies buru-buru mengklarifikasi pernyataannya.

Dia mengaku salah menyampaikan data mengenai tunjangan bagi anggota DPR.

“Setelah saya cek di kesekjenan, ternyata tidak ada kenaikan, baik itu gaji maupun tunjangan seperti yang saya sampaikan,” ujar Adies, di Gedung DPR RI, Rabu (20/8/2025).

Dia mengatakan, tunjangan beras sejatinya hanya Rp 200.000 per bulan dan tidak berubah sejak 2010. Begitu pula tunjangan bensin yang tetap Rp 3 juta.

Gaji pokok pun, kata dia, sekitar Rp 6,5 juta per bulan, tak naik dalam 15 tahun terakhir.

Namun, penjelasan itu tidak serta-merta meredakan kemarahan publik yang telah lebih dulu menghitung nominal besar “take home pay” para anggota DPR.

Terlebih lagi, Adies tak menampik bahwa anggota DPR kini mendapat tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan, sebagai pengganti fasilitas rumah dinas anggota DPR yang tak lagi didapatkan.

Nafa Urbach singgung kemacetan

Tak lama setelah klarifikasi Adies, giliran Nafa Urbach yang menuai sorotan.

Artis yang kini duduk sebagai anggota DPR Komisi IX dari Fraksi NasDem itu menyampaikan dukungannya terhadap tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan.

“Anggota Dewan itu kan enggak orang Jakarta semua, guys. Itu kan dari seluruh pelosok Indonesia. Nah, mereka diwajibkan kontrak rumahnya dekat-dekat Senayan supaya memudahkan menuju DPR,” kata Nafa, dalam siaran langsung di media sosial.

Dia bahkan membandingkan dengan dirinya yang tinggal di Bintaro dan harus bergulat dengan kemacetan setiap kali menuju Senayan.

Namun, alih-alih mendapat dukungan publik, pernyataannya justru mengundang hujan kritik.

Publik menilai, Nafa gagal membaca situasi. Dia pun akhirnya meminta maaf.

“Guyss maafin aku yah klo statement aku melukai kalian,” tulisnya di Instagram Story, Jumat (22/8/2025).

Nafa berjanji akan menjadikan kritik sebagai pengingat agar lebih sungguh-sungguh bekerja.

Ucapan kasar Sahroni ke pengkritik DPR

Kemudian, muncul pernyataan pedas Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Syahroni kepada publik yang mengkritik DPR.

Syahroni melontarkan kalimat yang kian memperkeruh suasana ketika menanggapi seruan “Bubarkan DPR” di media sosial.

“Catat nih, orang yang cuma mental bilang ‘bubarin DPR’, itu adalah orang tolol se-dunia,” ujarnya dalam kunjungan kerja di Medan, Jumat (22/8/2025).

“Kenapa? Kita ini memang orang pintar semua? Enggak. Bodoh semua kita, tetapi ada tata cara kelola bagaimana menyampaikan kritik yang harus dievaluasi oleh kita,” sambung dia.

Ucapan itu sontak memicu gelombang kecaman baru. Publik menilai, Syahroni merendahkan rakyat yang tengah meluapkan kekecewaan.

Sahroni memahami bahwa publik memang memiliki hak untuk menyampaikan kritik, tetapi jangan berlebihan. Sebab DPR tetap bekerja dan berempati kepada rakyat.

“Kami memang belum tentu benar, belum tentu hebat, enggak, tetapi minimal kami mewakili kerja-kerja masyarakat,” ucap Syahroni.

Eko Patrio parodikan “Sound Horeg”

Belum reda amarah publik, tingkah anggota DPR sekaligus mantan komedian, Eko Patrio, kembali memancing kritik.

Alih-alih menahan diri, Eko malah mengunggah parodi sebagai operator Sound Horeg.

Unggahan ini pun dianggap menantang rakyat yang tengah mengkritik pedas DPR.

Terlebih lagi, video Eko yang berjoget dalam Sidang Tahunan MPR 2025 sudah lebih dulu viral di jagat maya.

“Enggak ada (maksud apa-apa). Malah jauh banget itu (tafsirnya). Seandainya ada yang bagaimana-bagaimana, ya saya sebagai pribadi minta maaf lah,” ujar Eko, di Senayan Park, Jakarta, Minggu (24/8/2025) malam.

Eko menekankan dirinya tidak memiliki maksud apa pun dengan membuat video tersebut.

Dia mengeklaim pembuatan video itu hanya dalam rangka pembubaran panitia 17 Agustus-an.

“Enggak ada maksud apa-apa. Memang itu kemarin kan kita acara pembubaran panitia 17 Agustus-an,” ucap Eko.

Meski akhirnya Eko meminta maaf, warganet telanjur menilai sikapnya jauh dari empati.

Rakyat bergerak gelar demonstrasi besar

Puncak kekecewaan publik terjadi Senin (25/8/2025), saat ribuan demonstran memenuhi kawasan Senayan.

Poster-poster tuntutan bertuliskan “DPR: Dewan Pembeban Rakyat”, “Bubarkan DPR”, “Sahkan RUU Perampasan Aset”, hingga “Stop Komersialisasi Pendidikan” dibentangkan.

Orasi berisi kritik soal penolakan tunjangan besar DPR disuarakan dengan lantang.

Aksi yang awalnya berlangsung damai berujung ricuh setelah aparat memukul mundur massa dari depan Gedung DPR/MPR.

Tindakan represif aparat yang menyemprotkan air hingga menembakkan gas air mata, membuat massa terpencar menjadi kelompok-kelompok kecil di Jalan Gatot Subroto, Jalan Gerbang Pemuda hingga kawasan Pejompongan.

Kerusuhan pun tak terhindarkan. Sejumlah fasilitas umum dirusak, motor dibakar, dan pos polisi juga menjadi sasaran amukan massa.

Bagi banyak demonstran, aksi itu bukan hanya soal gaji dan tunjangan jumbo DPR, tetapi juga tentang perasaan ditinggalkan dan dipermalukan oleh wakilnya sendiri.

Besarnya tunjangan tak sebanding dengan kinerja

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, sikap anggota DPR yang menyetujui tunjangan perumahan menjadi bukti bahwa mereka telah kehilangan sense of crisis.

“Kalau DPR punya sense of crisis, memilih prihatin dengan menggunakan fasilitas rumah dinas yang masih bagus akan menjadi pilihan. Sehingga uang tunjangan Rp 50 juta per orang itu diperuntukkan bagi rakyat saja,” ujar Lucius, kepada Kompas.com.

Bahkan, Lucius menilai besarnya tunjangan dan gaji DPR RI tak berbanding lurus dengan kinerja lembaga legislatif.

Dia pun menyoroti capaian DPR periode 2024-2029 yang dinilai masih minim.

Dari 42 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk daftar prioritas tahun 2025, DPR baru mengesahkan satu RUU, yaitu revisi UU TNI.

Sementara 13 RUU lain yang berhasil disahkan, lanjut Lucius, justru berasal dari daftar kumulatif terbuka.

Misalnya, RUU tentang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota, serta tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni RUU BUMN dan RUU Minerba.

“Jadi yang benar-benar menampakkan visi politik legislasi DPR baru satu RUU saja,” ujar Lucius.

Dengan tunjangan besar yang diterima, seharusnya tak ada hambatan bagi DPR bekerja maksimal demi rakyat.

“Sayangnya, tunjangan itu malah memanjakan anggota DPR,” pungkas Lucius. (kompas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami | Pedoman Media Ciber | Disclaimer