Jakarta – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet sepakat bahwa prinsip ultimum remedium sebagai mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara perlu diterapkan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dia mengatakan pemberantasan korupsi tidak bisa hanya ditindak dengan pemberian sanksi pidana saja. Menurutnya hal itu pun bisa menjadi bentuk kreativitas dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Namun hukum pidana belum berkontribusi secara signifikan terhadap recovery aset,” kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu.
Adapun Bamsoet menjadi penguji internal Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni, berjudul “Pemberantasan Korupsi Melalui Prinsip Ultimum Remedium: Suatu Strategi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara” di Universitas Borobudur Jakarta, Minggu.
Dia mengatakan prinsip ultimum remedium yang mengisyaratkan bahwa hukum pidana dijadikan sebagai opsi atau pilihan terakhir yang bukan pilihan utama, menjadi penting jika sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mampu dijadikan instrumen penyelesaian.
Menurut dia, berdasarkan hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam periode 2013-2022, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 238,14 triliun. Sementara, pada tahun 2023, kasus korupsi menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 28,4 triliun.
Namun di tahun 2023 tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp526 miliar, Polri sebesar Rp909 miliar, serta Kejaksaan sebesar Rp13,1 miliar dari denda, Rp211,4 juta dari uang pengganti, Rp1,5 miliar dari hasil lelang, dan Rp671.500 dari biaya perkara.
Untuk itu, menurutnya formulasi baru dalam penanganan kasus korupsi terkait pengembalian kerugian keuangan negara dapat mengadopsi aspek-aspek dalam Undang-Undang Perpajakan, mengintegrasikan prinsip-prinsip dari berbagai undang-undang yang relevan, serta memberikan dukungan dan koordinasi yang kuat antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pencegahan dan penindakan korupsi.
“Ini akan membantu meningkatkan keberhasilan upaya dalam pemberantasan korupsi serta mengembalikan kerugian keuangan negara dengan lebih efektif,” katanya.
Dia memaparkan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah menyediakan mekanisme untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat korupsi. Namun, menurutnya implementasinya masih terbatas dan tidak optimal hingga berakibat seringkali pengembalian kerugian keuangan negara hanya dilaksanakan sebagai formalitas belaka.
“Diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan implementasi mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara. Termasuk perlunya dukungan dan koordinasi yang kuat antar lembaga penegak hukum,” kata dia. (ant).