Jakarta – Pemerintah melihat ekonomi global masih diliputi ketidakpastian pada tahun depan. Kekhawatiran pemerintah mengenai kondisi ekonomi global sangat terasa dalam narasi Buku Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (RAPBN) 2024.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengajukan RAPBN 2024 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini, Rabu (16/8/2023). RAPBN 2024 akan menjadi pegangan bagi pemerintahan Jokowi di tahun terakhirnya sebelum lengser pada Oktober 2024.
Dalam dokumen RAPBN 2024, pemerintah menyebut ada sejumlah risiko global yang bisa menekan pertumbuhan ekonomi 2024. Di antaranya adalah melemahnya ekonomi China, decoupling antar negara, persaingan subsidi, serta pesatnya perkembangan artificial intelligence (AI).
1. Melemahnya ekonomi China
Pertumbuhan ekonomi global pada 2024 diperkirakan masih ditopang oleh solidnya pertumbuhan ekonomi negara Asia. Namun, bukan China yang mengerek ekonomi Asia. India, Thailand, dan Filipina akan menopang pertumbuhan ekonomi global.
Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan melambat. Dalam Nota Keuangan disebutkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok diprediksi melambat di 2024, setelah sempat rebound dari pandemi di 2023.
“Reopening yang tidak sesuai ekspektasi membebani pemulihan di tahun 2023 dan diperkirakan menghambat laju pemulihan ke depan,” seperti tertulis dalam Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2024.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China tumbuh 2023 tetapi kemudian melambat menjadi 4,5 % pada 2024. Bank Dunia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat ke tingkat 4,6 % di 2024.
Tiongkok saat ini menjadi perhatian global setelah data ekonominya terus menunjukkan pemburukan.
China mencatat deflasi 0,3% (year on year/yoy) pada Juli, deflasi pertama sejak Februari 2021. Selasa pekan ini China juga mengumumkan jika penjualan ritel mereka melandai menjadi 2,5% (yoy) pada Juli. Tingkat pengangguran China naik menjadi 5,3% pada Juli, dari 5,2% pada Juni.
2. Dampak inflasi tinggi dan pandemi masih terasa
Meskipun pandemi Covid-19 sudah mereda namun scarring effect yang ditimbulkan belum sepenuhnya teratasi, termasuk tekanan inflasi yang masih tinggi akibat disrupsi rantai pasok dan juga konflik Rusia – Ukraina yang belum usai.
“Tingginya tekanan inflasi telah mendorong pengetatan kebijakan moneter di banyak negara, terutama di negara maju,yang berakibat pada ketatnya likuiditas dan meningkatnya volatilitas di sektor keuangan global,” tulis dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2024.
Masih ketatnya kebijakan moneter di banyak negara akan berdampak negatif bagi arus investasi asing yang masuk ke Indonesia.
Seperti diketahui, bank sentral di hampir seluruh negara mengerek suku bunga secara agresif sejak 2022.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed), misalnya, mengerek suku bunga sebesar 525 bps menjadi 5,25-5,5%.
3. Persaingan subsidi antar negara
Risiko lain yang menjadi perhatian pemerintah adalah Green Subsidy Race atau pemberian subsidi di negara-negara maju dalam rangka merespons isu perubahan iklim.
Tren tersebut merujuk pada kecenderungan munculnya kompetisi antarnegara dalam memberikan subsidi terhadap pembangunan teknologi hijau dan energi bebas karbon.
Sebagai contoh, AS memberikan insentif pajak untuk promosi penggunaan clean energy sementara Eropa menerapkan tarif untuk produk tinggi karbon yang masuk ke Eropa.
“Kebijakan- kebijakan tersebut berpotensi memperparah fragmentasi perdagangan dan investasi global, termasuk meningkatnya risiko pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang masih membutuhkan investasi besar,” tulis Nota Keuangan dan RAPBN 2024.
3. Decoupling tajam antara China vs Barat
Perang dagang AS – Tiongkok yang berlangsung sejak 2017 juga telah mendorong terjadinya fenomena “the US – China Decoupling” yang akan berdampak signifikan pada negara-negara berkembang.
Fenomena decoupling merujuk pada situasi di mana AS dan Tiongkok semakin tidak saling bergantung satu dengan lainnya.
Faktor pemicu peningkatan decoupling adalah terkait isu keamanan (security concern) dan defisit perdagangan di AS yang menyebabkan meningkatnya tensi geopolitik serta trade barrier antara kedua negara.
Menurut pemerintah, decopling akan berdampak negatif ke negara-negara berkembang.
“Bagi negara-negara yang memiliki pangsa ekspor besar pada kedua negara tersebut dapat menarik investasi asing akibat relokasi industri dari Tiongkok untuk menghindari proteksi perdagangan AS,” tulis Nota Keuangan dan RAPBN 2024.
Decoupling juga memicu ketegangan geopolitik diantara negara-negara berkembang
4. AI bisa mengancam manusia
Menurut pemerintah AI menciptakan peluang sekaligus risiko. AI bisa membuat berbagai jenis pekerjaan menghilang sehingga berdampak negatif bagi tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, keberhasilan pemanfaatan teknologi akan sangat tergantung pada keberhasilan membangun soft dan hard infrastucture, berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia,serta perluasan pembangunan infrastruktur terkait teknologi
5. Pemilu
Pemilihan umum akan berdampak ganda kepada ekonomi Indonesia. Pemilu di satu sisi diharapkan bisa mengerek investasi. Di tengah dinamika perekonomian dunia serta menghadapi periode Pemilu 2024, kinerja investasi diperkirakan tumbuh moderat pada 2023 tetapi meningkat pada 2024.
Pemilu di satu sisi diharapkan bisa mengerek investasi. Pemilu dan Pilkada akan memiliki dampak yang cukup signifikan bagi perekonomian nasional, terutama melalui konsumsi terkait penyelenggaraan Pemilu.
Namun, pemerintah mengingatkan pelaksanaan pemilu serentak 2024 harus diantisipasi sejak dini.
“Mengingat pelaksanaan tersebut berpotensi menimbulkan perselisihan politik yang dapat menjadi pemicu timbulnya konflik di kemudian hari,” tulis dokumen Nota Keuangan.
Pemilu dan Pilkada akan memiliki dampak yang cukup signifikan bagi perekonomian nasional, terutama melalui konsumsi terkait penyelenggaraan Pemilu. (cnbc)