Mereka dikabarkan berada di Pontianak, Kalimatan untuk mengikuti kegiatan gafatar.
"Mereka pamit pergi ke Kalimantan untuk ikut gafatar. Kemudian berangkat kesana, pada 28 Oktober lalu. Mereka berangkat berombongan naik bus menuju ke Surabaya, lalu ke Kalimantan," kata Minghaj Maitigor, anak kedua Katumi ditemui di rumahnya di Jalan Semeru LK 4, RT 56 / RW 16, Kecamatan Pare, Kamis (14/1/2016) pagi.
Miming -- panggilan sehari-hari Minghaj Maitigor mengaku, selama berada di Kalimantan keluarganya tidak pernah memberi kabar.
"Kami tidak pernah berkomunikasi. Kemudian ada teman dari adik saya yang memberitahu melalui SMS jika Imam tidak kerasan. Imam ingin pulang, karena tidak tahan bekerja tanpa istirahat," tutur Miming.
Kabar itu didapat Miming dari Friska, teman Imam Sapta Maulana. Dari penjelasan Friska itulah, dia akhirnya mengetahui keadaan ibu dan dua saudaranya. Selama berada di Kalimantan, mereka bekerja sosial tanpa beristirahat. Itulah yang membuat Imam tidak betah.
" Aktivitas sehari-hari bekerja di sawah, bercocok tanam dan kegiatan sosial lain, tanpa dibayar. Adik saya ingin pulang karena tidak betah. Tetapi ibu saya bersikukuh akan tetap berada disana. Saya sebagai seorang kakak, tentunya kasihan dengan Imam. Tetapi dia tidak bisa pulang karena tidak punya ongkos," keluh Miming bersedih.
Keluarga Katumi mulai mengikuti aliran gafatar sejak 2011 lalu. Awalnya sang ibu diajak oleh teman-temannya. Akhirnya ibu tiga anak itu menyatakan bergabung. Setelah itu, Katumi mengajak anak-anaknya termasuk Miming. Tetapi Miming tidak bersedia. Dia beralasan tidak cocok dengan aliran gafatar karena harus mengikrarkan sejumlah janji.
" Ibu saya aktif dalam setiap kegiatan gafatar. Kegiatan tersebut dipusatkan di suatu gedung yang ada di Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah. Beberapa kali, saya pernah ikut karena diajak oleh ibu. Saya bahkan diberikan beberapa buku tentang gafatar dan dijelaskan tentang visi dan misi aliran ini. Tetapi saya tidak tertarik," ungkap Miming. (nng/ted/bj)