Mereka menempati sebuah rumah berdinding kayu berukuran 5 kali 7 meter per segi. Ayah dan kakak tertua mereka merantau ke Kalimantan, sementara ibu mereka meninggal setahun yang lalu tertimpa longsor. Alhasil, tinggallah empat kakak-beradik itu bertahan hidup seadanya.
Warga sekitar yang bersimpati pada mereka kerap memberi makanan, baju dan uang. Tawaran untuk mengasuh mereka juga datang, namun Tasripin menolak. Tasripin terpaksa harus merawat tiga adiknya karena Satinah, sang ibu, telah meninggal dunia setahun yang lalu karena tertimpa longsoran tanah saat tengah bekerja mencari pasir. Sementara ayah dan kakak mereka telah merantau jadi buruh di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
Tasripin pun harus bekerja serabutan agar sang adik dapat membeli jajan dan makan. Selain bekerja, pagi hari, Tasripin sudah harus mengurus adik-adiknya yang masih kecil. Dari mulai mandi, mencuci baju adik-adiknya, menyiapkan makan, dan lalu pergi bekerja.
Keberadaan mereka pun akhirnya terungkap luas setelah muncul berita di media massa lokal. Kini, Tasripin telah mendapatkan rumah yang layak, lengkap dengan berbagai fasilitas. Usaha ternak kambing, yang sempat diidamkan Tasrpin pun terkabul. Yang tak kalah penting, sebentar lagi Tasripin dan adik-adiknya dapat melanjutkan sekolah.
Tak Hanya Tasripin
Namun, tak semua anak yang terpaksa membanting tulang sebagaimana Tasripin mendapatkan uluran tangan serupa. Di hari pendidikan nasional yang diperingati 2 Mei lalu, terungkap sejumlah anak yang memiliki kisah memprihatinkan. Indah Sari, siswi SMP Negeri 4 Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah, misalnya. Ditemui wartawan, Kamis 2 Mei 2013, Indah menuturkan bahwa dia harus mengurus tiga adik dan ibunya yang mengalami gangguan jiwa.
Warga Desa Penusupan, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah itu tak menempati rumah sendiri. Tetapi, menyewa rumah yang berdiri di atas tanah bengkok desa. “Uang sewa sebesar Rp4 juta, namun karena tidak memiliki uang hingga kini baru dibayar Rp1 juta,” kata Indah.
Sampai saat ini, Indah harus menyelesaikan bayar sewa tanah yang saat ini digunakan untuk rumah tempat dia, ketiga adik dan ibunya tinggal. Kepala Desa Penusupan Imam Yulianto membenarkan, sampai saat ini tanah bengkok desa yang digunakan keluarga Indah Sari disewa dengan kesepakatan harga lelang. “Biaya sewa sampai kini masih kekurangan Rp3 juta rupiah,” katanya.
Indah tidak tahu bagimana cara melunasi kekurangan pembayaran sewa tanah 5 x 6 meter milik desa yang digunakan untuk tempat berlindung bagi dirinya, adik serta ibunya.
Kepala SMP Negeri 4 Rembang, Sumarmo, prihatin dengan kondisi siswinya. Dia hanya bisa membantu sebisanya. Pihak sekolah telah membantu biaya sekolah Indah Sari di kelas IX dan dua adiknya, Supriyati Astuti dan Juliah di kelas VII, dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). "Selain itu, kami para guru juga biasanya menyisihkan rejeki untuk membantu biaya hidup Indah Sari," kata Sumarmo.
Meski beban hidup Indah Sari begitu besar, namun ia tetap tegar. Setiap hari, Indah Sari selalu mengajak adiknya, Supriyanti Astuti dan Juliah tetap sekolah. Sementara, adiknya yang baru berumur 5 tahun harus menemani sang Ibu, Tarmini, yang mengalami gangguan jiwa.
Selanjutnya sepulang sekolah, Indah Sari harus bekerja menjadi buruh plasma di perusahaan rambut bulu mata palsu dengan upah Rp150 per bulan. Meski hasil yang didapatkan tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya, namun tidak ada pilihan lain baginya. Ia harus tetap menjalani hidup tanpa mengeluh.
Indah sebenarnya memiliki seorang kakak laki-laki. Namanya Tanto Purnomo. Tapi, dia sedang merantau ke Kalimantan, bekerja di sebuah bengkel. Beruntung, Tanto masih sering mengirim uang ke rumah, sekitar Rp300 ribu per bulan. Tiap bulan, jumlah itu masih harus dipotong Rp100 ribu untuk membayar cicilan utang almarhum ayahnya.
Ayah Indah, Warsito, meninggal dunia setahun yang lalu karena sakit. Sementara ibunya, Tarmini, mengalami gangguan jiwa karena tak kuat menanggung beratnya beban keluarga.
Indah tinggal di Desa Penusupan, Kecamatan Rembang. Purbalingga, Jawa Tengah. Kondisi rumahnya compang-camping dan nyaris roboh. Dinding rumahnya hanya terbuat dari papan dan anyaman bambu yang kini mulai lapuk. Saat hujan tiba, atap rumah itu mesti bocor, membuat lantai yang terbuat dari tanah jadi becek di mana-mana.
Di dalam juga kumuh. Baju Indah dan ketiga adiknya hanya dibiarkan teronggok di tempat tidur. Karena tidak punya lemari, sebagian dimasukkan saja ke dalam kardus lusuh. Untuk makan sehari-hari, Indah biasanya memasak sayur daun singkong yang diambil dari kebun tetangga. Jika stok makanan menipis, dia biasa mensiasatinya dengan makan cuma satu kali sehari.
Meski harus pontang-panting membanting tulang di umur semuda itu, di sekolah Indah dikenal sebagai siswi berprestasi. Murid kelas IX itu masuk kategori 10 siswa terbaik di sekolahnya.
Pemulung Berseragam SD
Nasib yang hampir sama dialami Muhammad Said, seorang siswa kelas VI SD Mimbaan I Situbondo, Jawa Timur. Masa kecilnya harus diisi dengan dua kegiatan, yaitu belajar dan menjadi pemulung. Dia bekerja sebagai pemulung untuk membiayai kebutuhan empat adik dan satu kakak perempuannya.
Tanpa ada rasa malu, Said memulung usai sekolah. Masih berseragam putih merah dikaisnya sampah. Dia tak mengganti seragam sekolah terlebih dahulu agar pekerjaannya cepat selesai. Sebab, pekerjaan lain telah menantinya di rumah. Dikumpulkannya sampah layak daur ulang dalam kantung palstik. “Sehari dapat dua kresek (kantung plastik) kadang satu,” katanya.
Berapa yang didapatnya? Dari memulung, dia mendapatkan penghasilan Rp20-40 ribu per hari. Tapi itu pun tak menentu sesuai dengan barang yang dia dapatkan di sekitar jalan menuju rumahnya. Menjadi pemulung terpaksa dilakukannya untuk bisa membantu biaya hidup empat adik dan satu kakaknya. Sang ibu diketahui bekerja sebagai TKI di luar negeri, sedangkan ayahnya tidak memiliki pekerjaan tetap.
Sehari-harinya keluarga Said harus hidup serba pas-pasan. Mie dan tempe kecap jadi menu rutin santapan mereka makan. Bagaimana kedua orang tuanya? Ibu Said bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia sektor informal di luar negeri. Sementara, ayahnya tak memiliki pekerjaan tetap. (
Simak VIDEO: Pemulung Cilik Hidupi 4 Adik dan 1 Kakak)
Sikap Pemerintah
Bagaimana sikap pemerintah menanggapi anak-anak yang bernasib seperti Tasripin? Menteri Sosial Salim Segaf Al Djufri menegaskan pemerintah akan membantu anak-anak yang bernasib sama. Dia memerintahkan Dinas Sosial agar lebih proaktif kepada masyarakat agar tidak muncul kasus-kasus Tasripin lainnya. "Sebelum itu (kasus Tasripin) muncul, harusnya dinas sosial turun juga. Mengecek ke rumah-rumah, turun langsung ke masyarakat," ujar Salim.
Salim yang duduk di Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera itu berharap masyarakat juga ikut berperan serta apabila menemukan kasus serupa terjadi di lingkungannya. Jangan sampai, masyarakat tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya.
"Saya khawatir masyarakat sudah tidak mau tahu lagi apa yang terjadi di tetangganya, hanya memikirkan diri sendiri saja. Kalau masyarakat mempunyai info, berikanlah informasi tersebut," kata Salim.
Dengan adanya kasus Tasripin ini, Salim berharap agar pemerintah daerah lebih memperhatikan rakyatnya ketika mereka sudah terekspose di media. "Saya harap ke media juga, kalo ada yang begitu lagi, dimunculkan saja. Supaya pemerintah daerah menjadi hati-hati dan malu," kata Salim. (viva)