"Pada perdagangan awal pekan ini, rupiah memang sempat diperdagangkan di atas Rp10.000 per dolar AS di pasar non-deliverable forward, sebelum kembali ke level Rp9.800," kata Ekonom PT BNI Securities, Heru Irvansyah, dalam risetnya yang diterima VIVAnews, Selasa 11 Juni 2013.
Heru mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar akan berdampak pada peningkatan harga barang dan bahan baku impor. Akibatnya, biaya produksi meningkat, sehingga harga jual kepada konsumen domestik ikut melonjak.
"Kondisi ini yang akhirnya dapat memicu kenaikan inflasi," ujarnya.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan tingginya kebutuhan dolar untuk membayar impor bahan baku bagi keperluan domestik. "Bahan baku masih banyak yang impor. Lihat saja di industri farmasi, baja, hingga otomotif," ujar Jahja.
Dia menjelaskan, permintaan domestik yang makin meningkat, akan memicu kebutuhan impor barang. Akibatnya, permintaan dolar juga bertambah.
Menurut Jahja, pemerintah bisa membuat nilai tukar lebih stabil dengan segera memastikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. "Itu akan menolong neraca pembayaran. Kalau subsidi dikurangi, kan kebutuhan impor bisa berkurang. APBN bisa tertolong," kata Jahja.
Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, juga menilai ketidakpastian kenaikan harga BBM bersubsidi kembali menekan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, Menteri Keuangan, Chatib Basri, mengakui, tekanan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kebijakan harga BBM bersubsidi yang akan dikeluarkan Juni ini. "Namun, posisinya sudah jelas, pemerintah akan menaikkan harga BBM," kata Chatib di Gedung DPR, Jakarta.
Agar pelemahan nilai tukar tidak terlalu dalam, Chatib menambahkan, Kementerian Keuangan telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Pelemahan rupiah itu hanya temporer," tegasnya.
Dua Aspek
Kejatuhan rupiah yang menembus Rp10.000 per dolar AS ikut membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan perhatian khusus. SBY terus berkoordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, untuk mengatasi gejolak rupiah itu.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Firmanzah, menilai, ada dua aspek penyebab melemahnya nilai tukar rupiah. Pertama, pada kawasan regional dan global terdapat tekanan terhadap nilai tukar mata uang, sehingga sedikit banyak berdampak pada rupiah.
"Kedua, kita masih menunggu keputusan kenaikan harga bahan bakar minyak," ujar Firmanzah.
Saat ini, dia menjelaskan, pemerintah dan Bank Indonesia masih mengevaluasi, memonitoring, dan mengawasi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar tersebut.
Menurut dia, intervensi oleh Bank Indonesia untuk menekan pelemahan nilai tukar rupiah telah dilakukan. Meskipun hingga saat ini belum begitu terlihat dampaknya.
"Hari ini (kemarin) dicoba ditahan Rp9.800 agar tidak sampai menembus Rp10.000 seperti Senin lalu," tuturnya.
Pemerintah, dia menjelaskan, masih berharap rupiah berada dalam rentang aman, yakni di posisi Rp9.500 hingga Rp9.800 per dolar AS. Jika terlalu menguat, dampaknya tidak terlalu bagus bagi ekspor. "Kalau terlalu drop juga tidak baik untuk impor," katanya.
Nilai tukar rupiah, Firmanzah menambahkan, diharapkan bisa kembali terkendali setelah RAPBN-P 2013 diputuskan oleh DPR. Khususnya terkait keputusan kenaikan harga BBM.
"Paling tidak investor akan ada kepastian atas kebijakan untuk mengurangi defisit fiskal dan neraca perdagangan yang banyak disumbang dari impor BBM," tuturnya.
Upaya Bank Indonesia
Guna meredam kuatnya tekanan depresiasi rupiah selama triwulan I-2013, Bank Indonesia memutuskan untuk mengambil alih penyediaan sebagian besar kebutuhan valas untuk pembayaran impor minyak dari perbankan domestik.
Kebijakan Bank Indonesia dalam memperbesar pasokan valuta asing untuk pembayaran impor minyak menyebabkan transaksi modal dan finansial mengalami defisit US$1,4 miliar.
Direktur Humas BI, Difi A Johansyah, dalam publikasi kebijakan bank sentral mengatakan, pengambilalihan ini mampu mengurangi permintaan di pasar valas dan meredam tekanan depresiasi rupiah. Upaya itu juga memberikan ruang kepada perbankan domestik untuk menambah simpanan valas mereka.
Sementara itu, meskipun Indeks Harga Konsumen (IHK) pada April 2013 mengalami deflasi, Bank Indonesia tetap mewaspadai tekanan inflasi yang berasal dari kebijakan terkait BBM. Untuk itu, Bank Indonesia akan melanjutkan penguatan operasi moneter melalui penyerapan likuiditas yang lebih besar ke tenor yang lebih jangka panjang.
"Penguatan operasi moneter itu juga dimaksudkan untuk mendukung kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya," kata dia.
Kebijakan ini, dia menambahkan, didukung dengan langkah-langkah lanjutan untuk pendalaman pasar keuangan, khususnya pasar valuta asing. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mempublikasikan kurs referensi spot rupiah terhadap dolar di pasar domestik.
"Bank Indonesia akan terus mewaspadai sejumlah risiko terhadap tekanan inflasi maupun nilai tukar, dan akan menyesuaikan respons kebijakan moneter bila diperlukan," tuturnya.
Meski demikian, dia menjelaskan, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi secara moderat pada April 2013. Intensitas tekanan sempat menurun sejalan dengan kembali meningkatnya aliran modal masuk.
Selama April, nilai tukar rupiah secara point to point hanya melemah sebesar 0,05 persen mencapai Rp9.723 per dolar AS, dengan volatilitas yang masih terjaga. Permintaan valas yang meningkat dapat diimbangi oleh meningkatnya pasokan valas nonresiden.
Kondisi ini didukung oleh persepsi positif terhadap ekonomi Indonesia usai penerbitan global bond pemerintah RI. Meskipun, perubahan outlook rating oleh S&P dari positif ke stabil berdampak sesaat pada nilai tukar rupiah. (VIVA)