Jakarta - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016, yang merupakan perubahan kedua atas Perpres Nomor 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan telah dikeluarkan.
Aturan ini merupakan dasar hukum bagi kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dikenakan kepada masyarakat yang telah menjadi peserta.
Dari Perpres tersebut ayat 16 F, ayat 1, kenaikan iuran BPJS kesehatan berlaku untuk semua golongan, yaitu golongan satu hingga tiga. Berikut, rincian kenaikan tarif bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja:
- Iuran kelas III perorangan dinaikan dari Rp25.500 per bulan, menjadi Rp30.ribu.
- Iuran kelas II perorangan naik dari Rp42.500 per bulan, menjadi Rp51 ribu per bulan.
- Iuran kelas I perorangan naik dari Rp59.500 per bulan, menjadi Rp80 ribu per bulan.
Berdasarkan Pasal 16F ayat 2, aturan tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 April 2016.
Besaran iuran merupakan hasil akhir yang telah disepakati antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan BPJS Kesehatan itu sendiri. Atas dasar antara lain, penyesuaian tarif ditinjau dua tahun sekali dan BPJS kesehatan mengalami defisit anggaran sebesat Rp5,85 triliun.
Dirut BPJS Kesehatan: Tidak Benar Kami Kolaps
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris, membantah tudingan bahwa lembaga yang dipimpinnya sedang mengalami kesulitan atau ‘collapse‘.
“Bapak Presiden sangat memberikan perhatian, karena ini harus menjadi opini yang jangan sampai membuat gelisah. Baik itu rumah sakit, kemudian tenaga kesehatan,” kata Fahmi, dikutip pada laman Sekretariat Kabinet, Jumat, 11 Maret 2016.
Fahmi menegaskan, bahwa balance sheet antara pemasukan dan pengeluaran BPJS Kesehatan balance dan tidak ada masalah. Dia memaparkan, pemasukan BPJS Kesehatan ada dua, yakni iuran dan sumber dana lainnya.
“Kalau kami bicara iuran dan pengeluaran memang mismatch, karena iuran pada dasarnya hitungannya masih di bawah rekomendasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional. Kalau dalam bahasanya kurang lebih 'underpricing' dari iuran yang diharapkan,” jelasnya.
Namun, Fahmi menuturkan, pengalaman BPJS Kesehatan sejak Askes 48 tahun lalu sudah mengkalkulasi agar program ini tetap berjalan, tentu ada sumber pemasukan lain.
Dia menyebutkan, dalam hal ini pilihannya tiga. Pertama, apakah manfaatnya dikurangi. “Tentu kami tidak akan mengambil pilihan itu, karena akan terjadi social cost yang besar. Masa orang cuci darah kemudian mulai besok dikurangi. Itu tidak kami pilih,” ujar Fahmi.
Pilihan kedua, apakah menaikkan iuran sehingga match dengan pengeluaran. “Bapak Presiden menyampaikan, itu nanti setelah program ini dirasakan semakin baik,” jelas Fahmi.
Untuk itu, disiapkan alokasi dana untuk mengatasi masalah tersebut. “Jadi clear. Untuk diketahui publik, bahwa isu BPJS Kesehatan kolaps itu tidak benar, karena balance sheet-nya sudah kami hitung antara pemasukan dan pengeluaran di tahun 2016 ini mendekati dengan apa yang kami perkirakan,” tutur Fahmi.
Distribusi KIS
Mengenai distribusi Kartu Indonesia Sehat (KIS), Fahmi menjelaskan, per 31 Desember 2015 sesuai dengan target yang ditetapkan, yakni telah tercetak 87 juta kartu. “Semuanya sudah 100 persen terdistribusi ke pihak ketiga, dalam hal ini PT POS, Tiki, JNE, dan juga mitra BPJS, aparat pemda setempat,” jelas Fahmi.
Dia menegaskan, Presiden Joko Widodo sangat concern bahwa kartu ini harus diterima oleh end user, oleh rakyat, oleh mereka yang berhak. Untuk itu, BPJS Kesehatan membuat posko pemantauan dan penanganan pengaduan distribusi KIS.
“Sampai hari ini posko ini terus memantau apakah PT POS sudah menyampaikan ini ke end user, apakah Tiki JNE sudah menyampaikan sampai end user,” jelas Fahmi. Menurut Fahmi, setiap hari dilakukan entry data. Dia mengklaim, saat ini sudah 90 persen lebih sudah diterima oleh end user.
“Target kami akhir Maret ini harus ada kepastian apakah distributor ini dapat mengirimkan sampai ke end user atau tidak. Kalau ada perubahan alamat peserta, kemudian karena berjalannya waktu sudah meninggal, kami harus catat, harus kami rapikan,” papar Fahmi. (viva)