Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi, Hariyanto itu tak hanya mampir ke rumah Tasripin untuk mengantarkan amplop layaknya kurir. Namun dia dan rombongan juga memantau kondisi rumah Tasripin yang kini sudah jauh berbeda ketimbang sebelumnya setelah diperbaiki.
Sedikitnya 40 anggota KODIM 0701 Banyumas dikerahkan untuk memperbaiki dan membangun rumah Tasripin yang sudah tak layak huni. Proses pembangunan dipimpin langsung oleh Komandan KODIM 0701 Banyumas, Letkol Infantri Helmi Tachejadi. Untuk merenovasi rumah Tasripin, para anggota TNI ini rela melakukan iuran.
Proses perbaikan dilakukan secara menyeluruh, dari mulai atap rumah, dinding rumah yang sudah lapuk, lantai, perbaikan pintu, serta menutup ruang belakang yang masih terbuka dengan menggunakan bangunan permanen.
Selain itu, anggota Kodim ini juga membuatkan dapur serta kamar mandi di rumah Tasripin. Sebelumnya, rumah Tasripin di kaki Gunung Slamet ini memang jauh dari standar kelayakan.
Beda dengan rumah sebelahnya yang berlantai keramik dan bertembok, rumah yang ditempati Tasripin dan adik-adiknya terbuat dari papan berukuran sekitar 5 meter x 6 meter. Hanya dua kursi panjang dan satu meja kayu yang menjadi perabot di ruang yang lantainya beralaskan semen pecah-pecah itu. Ruangan di rumah itu pengap.
Berjuang hidup mandiri
Tasripin dari Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas ini bukan hidup sebatang kara. Dia terpaksa bekerja keras menghidupi adik-adiknya. Setiap pagi dengan telaten Tasripin memandikan adik-adiknya, tak lupa menyuapi Daryo, si bungsu. Mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, juga jadi bagian dari tugasnya.
Sementara ayah dan kakak tertua mereka, Kuswito (42) dan Natim (21) merantau ke Kalimantan sebagai pekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit. Satinah, ibu mereka, meninggal dua tahun lalu, di usia 37 tahun, akibat terkena longsoran batu saat menambang pasir di dekat rumahnya.
Ayahnya beberapa kali mengirim uang melalui bibi Tasripin sebanyak Rp800 ribu. Uang itu untuk membayar listrik dan kebutuhan mendesak. Namun sebelum kiriman berikutnya datang, uang itu sudah habis. Tak jarang Tasripin bingung saat adik-adiknya menangis minta dibelikan jajan sementara uang kiriman ayahnya sudah habis.
Untuk memenuhi kebutuhan mereka, tetangganya tak jarang memberikan utang di warung. Tawaran untuk mengasuh mereka juga datang, namun Tasripin menolak.
Meski hidup jauh dari ayahnya, Tasripin bertekad hidup mandiri. Dia bekerja membantu tetangganya menjadi buruh tani, bekerja di sawah, mengeringkan gabah, hingga mengangkut hasil panen.
Tasripin tidak mengeluh meski harus naik bukit sejauh 2 kilometer dari sawah ke rumah juragannya. Tasripin berangkat ke sawah pukul 07.00 dan pulang pukul 12.00. Bayarannya tak menentu. Kadang beras, kadang upah berupa uang sebesar Rp30.000.
Dengan penghasilannya itu, Tasripin masih sulit memenuhi kebutuhannya dan ketiga adiknya. Bahkan, sabun dan shampo menjadi barang mewah buat mereka. Tak heran mereka pun sangat rentan terkena penyakit. Adik Tasripin, Riyanti, misalnya. Karena sering kali mandi tidak menggunakan sabun dan shampo, dia menderita penyakit gatal-gatal dan koreng di bagian kepala.
Malu dengan penyakit yang dideritanya, Riyanti pun selalu menggunakan kerudung untuk menutupi gatal di kepala. Penyakit ini membuat dia terlihat lebih minder dan tertutup dibandingkan dengan kakaknya Dandi dan adiknya Daryo. Menurut warga, Riyanti tidak dapat main dan berbaur dengan teman-teman sebayanya, karena mereka selalu menjauh saat dia datang untuk ikut bermain.
Jika sabun dan shampo jadi barang mahal bagi Tasripin dan ketiga adiknya, apalagi sekolah. Dari keempat anak itu, hanya Daryo yang bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD). Kedua adiknya, Dandi dan Riyanti, tidak melanjutkan sekolah.
Tasripin sebenarnya masih terlilit biaya sekolah lebih dari Rp 100.000 di SD Negeri Sambirata 3. Namun apa daya, perekonomian keluarganya tak memungkinkan mimpinya itu. Cita-citanya menjadi guru pun telah dianggapnya kandas.
Rindu dekapan ayah
Rumah baru, lengkap dengan furnitur, hingga bantuan uang tunai dari Presiden SBY, belum cukup rupanya bagi Taspirin dan ketiga adiknya. Tasripin ingin menggenapi kebahagiaanya itu dengan dapat berkumpul kembali bersama ayahnya Kuswito dan kakaknya Natim yang bekerja di Kalimantan. Dia berharap agar mereka segera pulang untuk membantu mengurus ketiga adiknya.
"Pak, sini pulang. Saya sudah capek mengurus adik-adik, saya masih ingin bekerja agar dapat melanjutkan sekolah," ucapnya lirih dihadapan petinggi Negara dan wartawan.
Doa Taspirin ini rupanya juga segera terkabul. Jika tidak ada aral melintang, Tasripin dan adik-adiknya segera bertemu ayahnya.
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, mengaku telah menugasi tim reaksi cepat (TRC) sejak 13 April lalu untuk memberikan bantuan, termasuk mengupayakan pulangnya ayah dan kakak tertua Tasripin, Kuswito (42) dari Kalimantan, agar si bocah tersebut bisa kembali hidup bersama orangtuanya. (berbagai sumber)