Di Pulau Moratua, kata Hendro, sudah bercokol perusahaan pariwisata dari Malaysia dan dua perusahaan dari Jerman. Tidak ada satu pun perusahaan dari Indonesia. "Jadi secara de facto, kontrol mereka lebih sering," kata Hendro.
Pulau ini sebenarnya bagian dari sebuah kecamatan. Camatnya, kata Hendro, aktif dan bagus, hanya saja tidak memiliki kekuatan. Petugas seperti Koramil, Pos polisi, Polsek, juga ada, tetapi kekuatannya lemah untuk menjaga perbatasan karena lebih banyak orang lalu-lalang Malaysia dan Jerman untuk berpariwisata.
Kondisi itu menurutnya bisa diubah dengan memberi kesempatan pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di sana agar banyak orang Indonesia yang berdiam. Praktis di tempat itu orang Indonesia tidak boleh masuk bahkan sering kali diusir.
"Bagaimana mau masuk, mereka sudah membawa grup-grup dari luar negeri untuk wisata, diving. Jadi kalau masyarakat datang tidak untuk apa-apa, hanya mancing ya diusir. Tapi ya tidak bisa begitu, itu kan negeri kita," katanya.
Oleh karenanya hal yang harus dilakukan pemerintah adalah memperkuat kekuatan Angkatan Laut dan Darat khususnya di daerah-daerah perbatasan. Dia menambahkan di Derawan sudah ada Angkatan Laut, tetapi hanya pos saja tidak ada kekuatannya. Pos itu sendiri hanya didatangi sekali-kali.
"Yang terus ada di situ, orang Indonesia itu, di Pulau Derawan saja, tapi ke utara lagi, di Pulau Moratua, itu nggak ada."
Dari pulau ini, Hendropriyono melihat ada kesamaan proses ketika negara ini kehilangan wilayah-wilayahnya seperti di Sebatik, Sipadan dan Ligitan, dahulu. "Hampir sama. Mula-mula pengusaha pariwisata, kemudian pengeboran minyak, dan seterusnya diambil wilayah kita," ucapnya.
Mantan Kepala BIN: Camar Bulan Milik RI
"Camar Bulan adalah tempat dan markas kita."
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono menegaskan, wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu adalah wilayah sah Indonesia. Hendro menuturkan hal itu diperkuat dengan pengalaman sejarah tahun 1968 sampai dengan 1973 ketika TNI membantu Tentara Diraja Malaysia menumpas gerakan separatis Pasukan Gerilya Serawak.
"Pada saat itu, kedua belah pihak memahami betul di mana batas-batas negara kita karena secara de facto kita melihat kenyataan di lapangan sehingga Camar Bulan adalah tempat dan markas kita. Markas dari pasukan anti gerilya. Jelas bahwa Camar Bulan itu adalah posisi dari markas kita," katanya saat ditemui di Grand Indonesia, Jakarta, Senin, 10 Oktober 2011.
Purnawirawan TNI itu menjelaskan, perbatasan Indonesia dahulu seperti di daerah Nangabadao, Tangir, Boantu, menjadi pos bersama, diduduki bersama untuk mengawasi lintas batas orang-orang yang lalu lalang dari Malaysia ke Indonesia dan sebaliknya. Setelah ditarik pasukan Indonesia dan suasana sudah damai tidak ada lagi yang menjaga, lantas diserahkan kepada aparat daerah.
Peristiwa itu kurang lebih terjadi sekitar tahun 1974. Batas-batas itu semakin lama tempatnya semakin pindah. "Dan sekarang katanya hilang. Tapi bahwa dulu pindah-pindah, pernah kita persoalkan, kita pindahkan lagi, kembalikan kepada tempatnya. Dan batas-batas itu tidak semuanya ada karen itu warisan dari zaman Belanda dan Inggris," ujarnya. (umi)(VIVAnews)