Dari korban tersebut, lanjutnya, 10 orang di antaranya, merupakan penumpang perahu tenggelam di perairan Bengawan Solo di Desa Kanor, Kecamatan Kanor, pada 27 Juni lalu.
Dalam kejadian itu, warga Tuban yang pulang dari Bojonegoro, ketika menyeberang perahunya bocor dan akhirnya tenggelam, bersama seluruh penumpangnya.
Lainnya, perahu tenggelam di Bengawan Solo terjadi di tambangan Desa Padang, Kecamatan Trucuk, pada 2 Mei lalu yang mengakibatkan sembilan penumpangnya tewas, satu di antaranya jenasahnya belum ditemukan.
Sedangkan korban tewas tenggelam lainnya yang sebanyak 22 korban, ia menjelaskan, juga korban penumpang perahu, sebagian di antaranya masih anak-anak, termasuk remaja dengan usia mulai 3 tahun hingga 17 tahun.
Mereka, jelasnya, tewas tenggelam, ketika bermain-main dengan perahu yang akhirnya terbalik atau mandi kemudian tenggelam.
Menurut dia, dengan tingginya angka tewas tenggelam di perairan Bengawan Solo tersebut, berkembang ceritera di masyarakat, penyebabnya, karena pembangunan Bendung Gerak Bengawan Solo di Desa Padang, Kecamatan Padang.
Pembangunan itu, dianggap meminta tumbal jiwa manusia, sehingga korban tewas tenggelam menjadi tinggi.
"Padahal dari semua korban tewas tenggelam di Bojonegoro, semuanya karena faktor kelalaian manusia," katanya menjelaskan.
Ia mencontohkan, pada kemarau ini, ada kecenderungan masyarakat di sepanjang bantaran menyepelekan Bengawan Solo yang dianggap tidak berbahaya. Padahal, seseorang yang mandi bisa dengan mudah tenggelam, ketika mengalami kejadian tertentu seperti kejang-kejang.
"Karena itu, selama kemarau ini BPBD terus mengimbau melalui radio dan media massa, agar orang tua di sepanjang Bengawan Solo mengawasi dan menjaga anaknya yang sedang mandi di Bengawan Solo," paparnya.
Kenyataannya, katanya, kejadian korban tewas tenggelam karena mandi dan bermain-main di Bengawan Solo, masih terus terjadi. (antarajatim)