JAKARTA — Harga rokok mulai 1 Januari 2017 resmi akan naik. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147/PMK.010/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, harga eceran rokok impor bisa mencapai lebih dari Rp20.000 per bungkus.
Peraturan itu telah ditandatangani Meneri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 30 September 2016 lalu. Isinya, tarif cukai rokok rata-rata naik 10,54% sehingga menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok yang berlaku mulai 1 Januari 2017. Artinya harga rokok tahun depan tidak boleh lebih murah dari HJE.
Dikutip dari laman Setkab.go.id, mengacu PMK tersebut, HJE per 1 Januari 2017 rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) paling rendah adalah Rp655 (sebelumnya Rp590). Sedangkan Sigaret Putih Mesin (SPM) paling rendah Rp585 (sebelumnya Rp505) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT) paling rendah Rp400 (sebelumnya Rp370). Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) dan Sigaret Putih Tangan Filter paling rendah Rp655 (sebelumnya Rp590).
Adapun harga jual eceran terendah Sigaret Kretek Mesin (SKM) hasil tembakau yang diimpor adalah Rp1.120,00. Sedangkan harga jual eceran terendah SPM impor adalah Rp1.030; harga jual SKT atau SPT Rp1.215; dan SKTF serta SPTF impor adalah Rp1.120. Dengan demikian jika diasumsikan satu bungkus berisi 20 batang, maka harga rokok impor per bungkus bisa lebih dari Rp20.000
Pasal 2 ayat (2b,c) PMK tersebut berbunyi “Ketentuan mengenai batasan harga jual eceran per batang atau gram dan tarif cukai per batang atau gram sebagaimana tercantum dalam Lampiran II [produk dalam negeri] dan Lampiran III [untuk hasil tembakau yang diimpor], mulai berlaku pada 1 Januari 2017”.
Dalam PMK itu disebutkan bahwa pertimbangan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dan harga jual eceran rokok hasil tembakau adalah untuk meningkatkan pengendalian konsumsi hasil tembakau. Selain itu, pemerintah ingin menggenjot penerimaan di bidang cukai hasil tembakau.
Harga Rokok Rp50.000 Melanggar Undang-Undang, Ini Penjelasannya
Penetapan kenaikan harga rokok tidak hanya berdasarkan pada alasan satu pihak, termasuk hasil studi tentang sensitifitas perokok terhadap harga yang dilakukan sebuah lembaga riset. Karena itu, harga rokok Rp50.000 sulit diterapkan di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan hal tersebut. Jika hendak menetapkan kenaikan harga rokok setinggi itu, pemerintah pun terbentur aturan undang-undang (UU). Beleid tersebut adalah UU No. 39/2007 tentang perubahan atas UU No. 11/1995 tentang Cukai.
Dia menerima masukan studi harga rokok tersebut. Namun, Sri mengatakan kebijakan mengenai cukai rokok harus berdasarkan UU Cukai yang menyebutkan tarif cukai maksimal adalah 57% dari harga jual eceran.
Berikut isi pasal 5 ayat 1 UU No. 39/2007 tentang perubahan atas UU No. 11/1995 tentang Cukai yang menyebutkan besaran tarif cukai itu.
Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
a. untuk yang dibuat di Indonesia:
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
b. untuk yang diimpor:
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Berdasarkan pasal di atas, kenaikan harga rokok menjadi Rp50.000 memang tidak sesuai dengan skema tersebut. Saat ini, harga eceran rokok paling tinggi adalah Gudang Garam 16 atau Sampoerna Mild 16 senilai Rp17.000/bungkus (isi 16).
Dengan demikian, seandainya harga dasar rokok setinggi-tingginya mencapai Rp17.000, maka tarif cukai senilai Rp9.690. Jika dijumlah, maka harga tertingginya hanya Rp26.690 per bungkus. (SLP)