Yogyakarta - KPK menemukan aliran dana setidaknya Rp 600 miliar dari pabrik farmasi kepada oknum dokter di Palembang. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengungkap permainan di Palembang terjadi di industri kecil.
"Palembang hanya contoh, banyak lagi yang lebih besar, Palembang itu industri kecil," ujar Syarif kepada wartawan usai menghadiri acara penutupan Anticorruption Summit (ACS) 2016 di Hotel Sahid Rich, Jalan Magelang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (26/10/2016).
Menurut Syarif permainan ini sudah berlangsung sejak lama di banyak daerah di Indonesia. Proses distribusi obat, menurutnya harus segera diperbaiki. "KPK melakukan kajian khusus soal itu," kata Laode.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyebutkan, praktik ini menyebabkan 40 persen biaya layanan kesehatan habis untuk belanja obat. "Sedangkan di negara lain, (belanja obat) hanya 15 persen," ujar Agus dalam pembukaan ACS 2016 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (25/10).
Begini Modus Kongkalikong Pabrik Farmasi dan Oknum Dokter
KPK mengendus permainan uang dengan nilai besar antara pabrik farmasi dan oknum dokter di Palembang. Dari hasil kajiannya, KPK menemukan modus yang sudah berjalan sejak lama. Seperti apa modusnya?
"Kajian (KPK) tentang distribusi obat, bagaimana perusahaan obat harus menyiapkan uang tertentu kepada dokter-dokter agar meresepkan obat yang mereka produksi," jelas Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Hal ini disampaikan Laode kepada wartawan usai menghadiri acara penutupan Anticorruption Summit (ACS) 2016 di Hotel Sahid Rich, Jalan Magelang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (26/10/2016).
Aliran dana di Palembang mencapai Rp 600 miliar, Laode menyebut praktik itu terjadi di industri kecil. Sedangkan praktik yang sama banyak terjadi juga di daerah lain di Indonesia sejak lama. Namun dia tak menyebutkan industri obat apa yang dimaksud.
"Palembang hanya contoh. Banyak lagi yang lebih besar. Palembang itu industri kecil," tegasnya.
Mengenai temuan KPK ini, Wapres Jusuf Kalla (JK) juga mengimbau para dokter melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menyempurnakan kualitas diagnosanya.
"Soal obat, sudah berkali-kali saya bilang di IDI. Orang diperiksa (dengan) tidak sempurna, karena banyak antrean, hanya 5 menit (pemeriksaan dokter). Diagnosanya jadi tidak bagus, jadi dikasih obat banyak, mudah-mudahan satu kena (salah satunya manjur)," urai JK pada pembukaan ACS 2016 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (25/10).
Hal ini juga, kata JK, yang kemudian menyebabkan biaya konsultasi murah tapi biaya obat menjadi mahal. Bahkan JK megatakan pasien ibarat apotek karena begitu banyak mendapat obat. "Maka dokter jadi dapat bagian (dari) obat," tuturnya. (dtk)