Konsep yang diambil adalah tentang liberalisasi pendidikan yang sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam praktiknya tetap dijalankan. Sehingga membuat keprihatinan kalangan mahasiswa.
Salah satu pemateri, Agus Sunyoto, dosen FIB Universitas Brawijaya Malang mengatakan, pengutan yang dijalankan oleh sekolah-sekolah negeri kepada siswanya, sama halnya dengan praktik liberalisasi pendidikan.
"Pada jaman saya sekolah dulu tidak ada pungutan-pungutan seperti itu. Masuk sekolah sudah dianalisas, kepana dalam proses daftar ulang harus dibebankan untuk membayar kembali. Bahkan, kemarin saya mendengar bahwa di SMAN 2 Pare juga mengenakan pungutan hingga Rp 3,4 juta. Ini berarti pendidikan sudah kiamat," tegas Sunyoto, Rabu (29/6/2011)
Agus Sunyoto menambahkan, sistem pendidikan Nasional bukan warisan kolonial Belanda. Pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program-programnya harus berorientasi untuk kesejahteraan masyarakat, dan tidak menumbuh kembangkan kaum kapitalisme. Agus juga mengkritik program pendidikan SMK yang tengah digalakkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
"Salah satuinya di Makassar ini, juga akan membahas bagaimana program pendidikan di SMK yang sebenarnya hanya mencetak buruh, mencetak kapitalisme, kedepan ini bisa hancur. Anak-anak muda yang rentan dengan kondisi ini," terangnya.
Pasalnya, kata Agus, materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa adalah mecetak tenaga siap kerja di pabrik-pabrik, usaha jasa marketing, multi media, komunikasi, tapi tidak ada pendidikan watak dan kepribadian, sebagai lulusan yang mandiri dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan ilmunya. Ujung dari kurikulum SMK adalah mecetak tenaga buruh yang murah yang menguntungkan kapilatisme global.
Terpisah, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Kota Kediri Heri Nurdianto dikonfirmasi mengenai praktik pengutan daftar ulang di SMAN 8 Kediri mengatakan, jika memang pungutan itu tanpa melalui prosedur dalam Peraturan Walikota Kediri No 12 tahun 2011, maka sekolah wajib untuk mengembalikannya.
"Sekolah hanya bisa memungut biaya daftar ulang setelah melalui prosedur yang sudah ditentukan sesuai perwali. Selain itu, juga harus transparan dan akuntabel. Jika tidak ingin bermasalah hukum di kemudian hari," tegas Heri.
Sekedar diketahui, pertemuan BEM se Indonesia itu diikuti oleh sedikitnya 50 orang perwakilan. Pertemuan diselenggarakan selama dua hari sejak kemarin. Kegiatan tersebut juga mendatangkan sejumlah pemateri dari dosen sejumlah perguruan tinggi. Hasil pertemuan, rencananya akan dijadikan sebuah rekomendasi. [nng/but]((beritajatim)