Sebelum ke Palembang, Hisyam menjalani seleksi di tingkat Kota Kediri dan provinsi. Di kota, Hisyam menyingkirkan 40 peserta. Setelah lolos ke provinsi, dia bersaing dengan 135 pelajar se-Jawa Timur. Setiap provinsi memiliki lima wakil. “Saya termasuk yang lolos. Saat itu ujiannya hanya teori,” ujar pelajar kelahiran Kediri, 14 Juni 1999 ini.
Di tingkat nasional, persaingan semakin ketat. Di bidang Hisyam, ada 84 pelajar dari seluruh Indonesia yang mengikuti OSN. Makanya, tanpa bekal keilmuan yang cukup, ia tak bakal mampu berbuat banyak.
Untungnya, sejak dinyatakan lolos di tingkat kota, siswa kelas XI IPA-4 ini mempersiapkan dengan matang. Selain belajar secara mandiri melalui buku dan internet, Hisyam banyak mendiskusikan materi astronomi ke gurunya. Bahkan, gerhana matahari total (GMT), 9 Maret lalu, tidak luput dipelajarinya. “Waktu GMT, saya belajar mengenai fenomena gerhana,” urainya.
Segala persiapan itu akhirnya dibayar tuntas dengan prestasi. Semua yang dipelajari dari buku dan internet keluar dalam soal teori. Termasuk tentang GMT yang baru dipelajarinya beberapa waktu lalu. Meski tim penilai tidak menunjukkan hasil soal teori, Hisyam sangat yakin dengan jawabannya.
Berbeda dengan tingkat kota dan provinsi, di tingkat nasional setiap siswa harus mempraktikkan ilmu astronomi. Saat itu, peserta diberi tugas meneropong bintang dan planet di tata surya. “Alatnya teropong sungguhan. Jadi kita bisa lihat sendiri bintang dan planet di angkasa,” ungkap remaja asal Bandarkidul, Kecamatan Mojoroto ini.
Tidak sekadar mengamati benda angkasa, Hisyam juga harus memberikan analisa. Saat meneropong bintang, dia memang kurang beruntung. Pasalnya, cuaca berawan. Karena itu, hanya ada dua bintang yang berhasil dilihatnya. “Kalau cerah, mungkin lebih dari dua bintang,” paparnya.
Di bagian planet, Hisyam berhasil melihat Jupiter. Oleh tim penilai, dia harus memberikan penjelasan soal planet tersebut beserta satelitnya. “Waktu diberi dua pilihan, Saturnus atau Jupiter. Yang saya lihat Jupiter,” kata anak bungsu lima bersaudara ini.
Sementara perjuangan Oksa sampai ke tingkat nasional tidak kalah terjalnya. Di tingkat kota, siswi kelahiran 12 Oktober 1999 ini mengungguli 40 peserta. Lalu dia lolos lima besar di tingkat provinsi. “Waktu itu pesaingnya 130 anak,” ujarnya.
Di bidang kebumian, yang dipelajari Oksa lebih kompleks. Tak cuma geologi, tetapi juga meteorologi, kelautan sampai astronomi. Makanya, dia harus menguasai banyak materi dibanding Hisyam. “Saya dikusi dengan guru dan belajar sendiri,” jelasnya.
Bersaing dengan 85 peserta di tingkat nasional, anak pasangan Gatot Subroto dan Titik Trisetyowati ini harus mengerjakan 40 soal pilihan ganda dan delapan soal esai. Dengan waktu 150 menit, Oksa sukses mengerjakan hampir semua soal. ”Karena ada sistem penguran poin jika salah, tidak semua soal saya jawab. Terutama yang ragu-ragu,” tuturnya.
Sama dengan bidang lain, Oksa juga harus mempraktikkan bidang lombanya. Salah satu yang diamatinya adalah matahari. Menggunakan teleskop supercanggih, Oksa menganalisa bintik matahari. “Saya kebagian meneropong matahari,” ucap siswi asal Kelurahan Semampir, Kecamatan Kota Kediri ini.
Atas prestasi anak didiknya, Kasek M. Tohir Aziz mengaku, bangga. Pasalnya, OSN merupakan lomba yang sangat bergengsi. Karena itulah, setelah dua siswanya lolos, pihaknya terus memberikan pendalaman materi. “Kami undang alumni yang pernah ikut OSN untuk menularkan ilmunya,” terangnya.
Setelah Hisyam dan Oksa berhasil merebut perunggu, kini giliran mereka harus menularkan pengalaman ke adik kelas. Hal itu supaya prestasi OSN tidak terputus. “Jadi kami beri tugas untuk bertukar pikiran dengan adik kelasnya. Untuk OSN tahun depan, targetnya harus medali emas,” ungkapnya. (adv/hms)