Kasus ini diduga juga melibatkan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR M Nazaruddin. Kolaborasi legislatif dan eksekutif inilah yang kemudian menjadi pintu masuk praktik calo anggaran.
Anggota Badan Anggaran dari Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati yang belakangan berseteru dengan Pimpinan DPR karena pernyataannya terkait calo anggaran di sebuah stasiun televisi, menyebutkan desas-desus praktik calo anggaran memang santer terjadi di Banggar. "Saya tidak tahu persis (praktik calo anggaran). Hanya desas-desus saja," katanya ditemui usai Sidang Paripurna DPR, Jakarta, Selasa (31/5/2011).
Hanya saja terkait pernyataannya yang membuat merah kuping pimpinan DPR tentang surat yang diteken Wakil Ketua DPR kepada Menteri Keuangan, Wa Ode mempertanyakan mengapa Anis Matta yang meneken surat ke Menkeu.
"Anis Matta meminta Menkeu segera meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sesuai yang dibuat Banggar. Sementara ada substansi yang dilanggar di keputusan Banggar," paparnya. Padahal, Menkeu telah meminta agar Banggar menggelar rapat.
Substansi yang dimaksud Wa Ode terkait dihapusnya 120 Kabupaten/Kota yang masuk kategori Daerah Tertinggal melalui PMK tersebut. Seharusnya, sambung Wa Ode, 120 Kabupaten/Kota tersebut tersebut tidak ada perubahan. Mengapa 120 Kabupaten/Kota dihapus? "Mungkin karena tidak dapat fee kali. Saya tidak tahu," ujar politikus PAN ini.
Ketika dikonfimasi perihal tersebut ,Wakil Ketua DPR Anis Matta menyebutkan fungsi dirinya sebagai Wakil Ketua DPR hanya meneruskan keputusan Badan Anggaran (Banggar). "Tidak ada celah (untuk bermain), karena fungsi kita lebih banyak di mediasi. Proses keputusan ada di alat kelengkapan diteruskan di paripurna," tepis Anis sesaat sebelum memasuki ruang paripurna DPR.
Dia menyebutkan, jika ada pihak yang tidak terima dengan hasil keputusan DPR terkait UU APBN maka bisa menggunakan mekanisme untuk melakukan gugatan. "Kalau punya masalah ajukan gugatan saja," tambah Sekjen DPP PKS ini.
Sementara Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari tidak menampik jika muncul asumsi bahwa konstituen politis yang baik adalah mereka yang bisa membawa proyek konkret ke daerah pemilihannya. "Padahal ini justru upaya menggoreng anggaran. Ini saja menciptakan calo anggaran," cetusnya.
Apatisme publik terhadap lembaga demokrasi seperti parlemen dan partai politik sejatinya juga disumbang perilaku pelaku demokrasi seperti para politisi dan pejabat negara. Maka tak aneh jika hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang digelar pada 5-25 Mei 2011 lalu mengungkapkan mayoritas publik yakni sebesar 78,8% mengaku tidak memiliki ikatan dengan partai politik. Ironinya, hanya 20% yang mengikatkan diri kepada partai politik.
Praktik calo anggaran di parlemen tak ubahnya seperti bau kentut. Tercium cukup nyata namun sulit ditemukan dimana sumbernya. Praktik calo anggaran ini juga disumbang praktik demokrasi liberal yang diterapkan pasca-reformasi ini. Dampaknya, politik biaya tinggi menjadi keniscayaan bagi para pelaku demokrasi. [mdr](inilah)