Transportasi publik yang semestinya menjanjikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan justru kian menjelma menjadi pembunuh kejam. Korban pun terus berjatuhan. Tak salah jika kita menyebut Agustus-September ini sebagai bulan petaka bagi pengguna angkutan umum baik transportasi darat, laut, maupun udara. Di laut, misalnya, hanya dalam kurun sebulan terakhir, terjadi lima kecelakaan maut.
Kecelakaan terkini terjadi Rabu (28/9), ketika kapal motor (KM) Kirana IX terbakar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sedikitnya delapan nyawa penumpang terenggut dalam tragedi itu. Sebelumnya, KM Windu Karsa tenggelam di perairan Kolaka, Sulawesi Tenggara. KM Sri Murah Rejeki karam di perairan Nusa Lembongan, Bali. KM Tunggal Putri tenggelam di Sumenep, Madura, dengan korban 37 jiwa.
KM Marina Nusantara terbakar setelah bertabrakan dengan tongkang di perairan Barito, Kalimantan Selatan, dengan korban enam tewas dan 11 penumpang hilang.
Tidak cuma di laut, korban juga bergelimpangan di jalanan. Yang paling tragis terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, 13 September silam, kala bus Sumber Kencono adu kepala dengan minibus. Akibatnya 20 orang tewas.
Di udara, kondisinya tak jauh beda. Setelah Susi Air jatuh di Distrik Pasema, Kabupaten Yahukimo, Papua, 9 September lalu, pesawat Cassa 212 jatuh di daerah Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, kemarin. Pesawat milik Nusantara Buana Air itu mengangkut 18 orang, termasuk pilot dan awak pesawat.
Sudah teramat sering kita menggugat buruknya transportasi publik di negeri ini. Namun, negara tak juga terusik untuk lebih gigih memperbaiki. Negara tak pernah serius untuk menyediakan transportasi yang lebih baik bagi rakyat. Pemerintah lantang menyuarakan tekad road map to zero accident, tetapi kecelakaan terus terulang.
Aspek terpenting dalam dunia transportasi ialah keselamatan. Namun, justru di situlah terjadi pengabaian begitu besar. Celakanya lagi, tak hanya operator, negara sebagai regulator transportasi publik larut dalam pengabaian itu.
Setiap kali ada kapal tenggelam, hampir dipastikan penyebabnya ialah kelebihan penumpang. Namun, regulator kerap membiarkan kapal beroperasi dengan penumpang berlebih.
Juga, bukan rahasia lagi, salah satu pemicu kecelakaan ialah usia angkutan yang sudah renta. Untuk angkutan laut, misalnya, hampir semua kapal roll on-roll off (roro) untuk penyeberangan antarpulau sudah uzur, sudah 30 tahun beroperasi, bahkan ada yang berumur 40 tahun. Pemerintah jelas tahu kondisi itu. Namun, mereka tak tergerak untuk mengambil keputusan anggaran untuk meremajakan.
Di sektor angkutan udara dan darat, persoalannya setali tiga uang. Pengabaian akan standar keselamatan sangat jamak dilakukan. Di Jakarta, umpamanya, sangat mudah ditemui bus, taksi, atau angkot yang tidak laik jalan, tetapi bebas lalu lalang di jalanan, di depan petugas.
Pemerkosaan bahkan terjadi justru di dalam angkutan umum dan pelakunya baru tertangkap setelah korban memburunya sendiri. Hukum transportasi publik ialah kepatuhan mutlak pada standar keselamatan dan keamanan. Pelanggaran sekecil apa pun tak bisa ditoleransi, apalagi jika negara ikut membiarkan hal itu. (M-ROM/MICOM)